RADARSEMARANG.COM, Meski sudah tujuh tahun menjalani cuci darah, Muhammad Atok Irrohman tidak pernah mengeluh. Ketua Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) Kota Semarang ini tak pernah meratapi penyakit gagal ginjal yang dideritanya.
ADIT BAMBANG SETYAWAN, Radar Semarang
TUJUH tahun lalu, tepatnya Juli 2014, Muhammad Atok Irrohman mendapatkan kabar yang tidak mengenakkan. Saat itu, ia divonis menderita gagal ginjal. Padahal saat itu, ia tengah kuliah semester enam, dan hendak menjalani Kuliah Kerja Nyata (KKN).
Vonis gagal ginjal itu diketahui bermula saat ia melakukan cek kesehatan sebagai persyaratan mengikuti KKN. Berdasarkan cek kesehatan, dokter curiga dirinya mengidap penyakit yang serius.
“Ketika itu saya tidak percaya, karena saya tidak merasakan apa-apa, tubuh masih biasa,” kata Atok –sapaan akrabnya—saat menjadi narasumber Podcast Radar Semarang TV, Senin (20/9).
Dari pemeriksaan itu, akhirnya dokter tidak mau memberikan surat keterangan sehat, sebelum Atok melakukan cek kesehatannya ke dokter spesialis penyakit dalam. Setelah melakukan pemeriksaan, akhirnya baru ketahuan jika ia benar-benar mengidap gagal ginjal. Saat itu juga Atok menjalani opname.
“Sebenarnya saya tidak mau harus opname, yang saya rasakan saat itu hanya lemas ketika berdiri, karena Hb hanya empat. Seharusnya, Hb segitu saya sudah tidak bisa jalan, tapi saat itu saya masih bisa jalan sendiri,” kenangnya.
Meski tubuhnya lemas, saat itu dokter belum mengatakan kalau dirinya menderita penyakit gagal ginjal. “Dokter tidak menjelaskan penyakit saya, mungkin karena memikirkan psikologis saya,” ungkap pemuda asal Jawa Timur ini.
Namun lama-lama, ia mengetahui penyakitnya. Meski begitu, ia tidak pernah meratapi sakit yang dideritanya. Dia yakin Allah memberikan musibah akan digantikan dengan sesuatu yang indah.
Atok pun harus bolak-balik ke rumah sakit untuk menjalani cuci darah sepekan dua kali. Beruntung, ia memiliki keluarga dan pacar yang sekarang menjadi istrinya, yang selalu memberikan support dan dukungan. Bahkan, saat itu ia tetap melanjutkan kuliahnya di Jogja.
Sang istri, Catur Wijayanti, selalu memberikan motivasi dan menguatkan Atok. Catur adalah adik tingkatnya di kampus. Kebetulan satu organisasi dengannya. Catur adalah wanita yang paling tergerak hatinya untuk memberikan penguatan kepada Atok. “Ini kalau diceritakan seperti sinetron-sinetron FTV,” ucap Catur sambil tersenyum.
Awalnya, Catur membantu Atok karena merasa iba. Selain itu, ia juga teringat masa kecilnya melihat orang-orang di sekitarnya yang melakukan cuci darah dan tidak memiliki waktu yang lama untuk hidup.
“Saya pengin bahagiain dia di sisa waktu yang terakhir. Akhirnya, mulai inbox di Facebook. Saya pengin rawat dia di Jogja,” ceritanya sambil berkaca-kaca.
Catur mengungkapkan, Atok memiliki sisi yang berbeda dibandingkan dengan cerita sinetron di TV. Biasanya cowok akan menjauh ketika merasa dirinya sakit, namun Atok berbeda. Dia terlihat lebih percaya diri. “Dia bilang saya sakit, tapi bisa bahagiain kamu,” ungkap Catur menirukan percakapan Atok saat itu.
Selama divonis sakit dan memilih melanjutkan kuliahnya, Atok didampingi Catur mulai awal dia sampai di Jogja, menemani cuci darah, hingga mengurusi keperluan di rumah sakit. Meskipun jarak kos jauh, tengah malam jika Atok ada keluhan atau keperluan, Catur selalu siaga.
“Bahkan kalau ditanya. Lebih tahu saya tentang penyakitnya Mas Atok ketimbang keluarganya,” tuturnya.
Semangat dan motivasi terus diberikan istrinya kepada Atok. “Ia selalu memberikan kata-kata seakan-akan saya mau mati,” jelas Atok sambil tertawa.
Saat divonis gagal ginjal, Atok tidak stres. Ia baru merasakan stres berat saat dirinya dinyatakan positif Covid-19 pada Juni lalu. Sebab, ia sering membaca berita pasien gagal ginjal yang meninggal karena covid, dan banyak teman-temannya di komunitas yang meninggal, akhirnya dia down. “Saya melakukan cek mandiri dan positif. Akhirnya, saya minta perawatan di RS. Karena kalo tidak, saya tidak bisa jalani Hb,” katanya.
Stres bertambah ketika melihat pasien di sekitarnya meninggal karena covid. Akhirnya, setelah enam hari dirawat, Atok minta pulang dan dirawat oleh istrinya, karena saturasinya normal, dan tidak sesak. “Tujuh tahun saya divonis gagal ginjal, baru ini merasakan stres seberat ini,” ujar Atok.
Saat ini, Atok resign dari kantornya. Ia menyambung hidup sebagai wiraswasta. Ia menjual snack dan produk kosmetik lewat media sosial. Sedangkan istrinya menjadi karyawati di kantor tempat Atok bekerja dulu. (*/aro)