26 C
Semarang
Saturday, 19 April 2025

Sering Dikira Sakit Jiwa, Manfaatkan Koper Kuno sebagai Media

Agus Suyitno, ASN Disdikbud Kabupaten Magelang yang Jadi Pelukis Aliran Mistisisme

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Agus Suyitno, warga Desa Pucanganom, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang mengaku menyayangi Gunung Merapi. Dia menganggap Merapi sebagai sahabat. Rasa sayangnya lantas dituangkan dalam lukisan, yang kemudian dia jadikan persembahan.

RIRI RAHAYUNINGSIH, Magelang, Radar Semarang

TERINSPIRASI DARI MERAPI: Agus Suyitno saat menyelesaikan lukisan berseri dengan tema “Perjalanan ke Negeri Langit”. (Inzet) Agus Suyitno. (FOTO-FOTO: RIRI RAHAYU/RADARSEMARANG.COM)
TERINSPIRASI DARI MERAPI: Agus Suyitno saat menyelesaikan lukisan berseri dengan tema “Perjalanan ke Negeri Langit”. (Inzet) Agus Suyitno. (FOTO-FOTO: RIRI RAHAYU/RADARSEMARANG.COM)

MINGUU (15/8) sekitar pukul 10.30 lalu, RADARSEMARANG.COM menyambangi kediaman Agus. Di radius sekitar 10 km dari puncak Merapi. Agus menerima kehadiran koran ini dengan hangat. Buru-buru mempersilakan masuk dan duduk di ruang depan. Persis di sebelah tempat dia biasa melukis.

Pengamatan wartawan koran ini, rumah Agus terbilang sederhana. Dindingnya terbuat dari batu bata dan gebyok. Sementara langit-langitnya dibiarkan terbuka tanpa plafon. Uniknya, di dinding depan terdapat plang “Omahe Wong Gemblung”. Rumahnya orang gila. Agus memasang plang tersebut bukan tanpa alasan.

Sembari menyuguhkan secangkir teh hangat, Agus lantas mulai bercerita. Oleh banyak orang, Agus memang sering dikira sakit jiwa. Bahkan musyrik. Pasalnya, dia sering membuat ritus-ritus untuk berkomunikasi dengan Merapi.

Semua bermula pada 1980-an. Agus merasa prihatin terhadap penambangan besar-besaran yang dilakukan di lereng Merapi. Berlanjut pada pengalaman menghadapi erupsi Merapi pada 1994.

“Saat itu langit benar-benar gelap. Seperti malam hari,” cerita Agus sembari menyalakan rokok.

Setelah itu, Agus mulai berdialog dengan Merapi. Melakukan perjalanan mistisnya sendiri. Makan kembang mawar hingga dupa dia lakoni. “Setelah delapan tahun berdialog, saya baru diizinkan melukis Merapi,” kata Agus.

Ide-ide melukisnya memang diperoleh dari perjalanan mistis. Agus pun menamai aliran lukisannya sebagai aliran mistisisme. Tak hanya bersumber dari Merapi, inspirasi lukisan Agus datang dari Candi Borobudur.

Teranyar, pada 2021, Agus membuat lukisan berseri tentang perjalanan mistis ke negeri langit. Konsepnya masih menggandeng Merapi. Namun, gambar gunungnya terbalik. Menggambarkan Merapi dari negeri langit yang tidak ada gaya gravitasi.

Dalam lukisan berserinya, Agus juga melukis sosok Nyai Kendhit. Sosok perempuan cantik, yang katanya merupakan Dewi Hujan, penghuni Merapi. Selebihnya, Agus melukiskan pepohonan imajiner, dan orang-orang yang melayang di langit.

Kendati berbau mistis, lukisan Agus kali ini juga menggambarkan kondisi kehidupan di masa pandemi Covid-19. “Kasus Covid-19 tahun ini besar, jadi yang kembali ke negeri langit banyak,” ujarnya sembari menunjuk lukisannya.

Sementara ihwal lukisan Merapi, Agus mengatakan, “Merapi kalau mau erupsi, kedahsyatannya cukup di lukisan saya saja”.

Menariknya, Agus tidak hanya melukis di atas kanvas. Tapi juga di atas koper kayu kuno tempat biola. Bapak tiga anak ini mengatakan, koper merupakan simbol bahwa kematian begitu dekat. Terlebih di masa pandemi Covid-19. “Jadi untuk mengingatkan apakah kita sudah bawa bekal?” ucapnya.

Seri lukisannya sudah mencapai ke-19. Namun seri ke-13 dia lewati. “Nomor mistis,” ucapnya sembari menjentikkan ujung rokok yang hampir tandas ke asbak.

Dari karya sebanyak itu, Agus tidak berorientasi pada profit. Dia juga mengaku tidak pernah menawarkan lukisannya ke kolektor. Katanya, saat berkarya dia sudah menemukan kenikmatan. Perkara lukisan laku, itu bonus saja. Pria berambut gondrong ini justru berpikir lukisannya menjadi monumen untuk anak cucu setelah dia mati. “Manusia harus membuat sejarahnya sendiri,” ucapnya.

Sementara ihwal penghasilan, Agus masih mengandalkan gaji sebagai ASN. Dia menjabat sebagai Kasie Kesenian dan Perfilman Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Disdikbud) Kabupaten Magelang. Namun, bukan berarti dia tidak pernah menjual karyanya. Biasanya karyanya laku saat Agus menggelar pameran tunggal. Hanya saja, bahasanya bukan dijual. Melainkan diberi mahal.
“Setiap goresan, saya berdzikir atau istighfar,” ujar pria yang menempuh pendidikan Seni Rupa di UNS dan UST ini. “Saya melukis dengan jiwa, bukan dengan teknik,” imbuhnya.

Beberapa waktu lalu, lukisan Nyai Kendhit yang dia buat pada 2003 bahkan ditawar orang Belgia. Namun Agus enggan melepas lukisan yang sering dia gunakan dalam ritus itu. “Ditawar di Instagram. Tapi maaf nggak saya jual,”bebernya. (*/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya