RADARSEMARANG.COM, Melihat potensi salak yang melimpah di desanya, Moh. Zito tergugah untuk meningkatkan komoditas ini. Pada 2014, dia bereksperimen membuat olahan manisan salak. Setelah jatuh bangun dan berjuang setahun, pada 2015 Zito akhirnya mulai menekuni usaha ini.
RIRI RAHAYUNINGSIH, Magelang, Radar Semarang
KECAMATAN Srumbung, Kabupaten Magelang, dikenal sebagai daerah penghasil buah salak. Salah satunya di Desa Polengan. Potensi salak yang besar ini memotivasi Zito untuk berinovasi.
Kepada RADARSEMARANG.COM, Zito bercerita. Potensi salak di Desa Polengan melimpah. Namun pada musim panen raya, harga salak sering jatuh. Hanya Rp 1.500 hingga Rp 2 ribu per kg.
Zito lantas berinisiatif membuat olahan salak untuk meningkatkan daya jual. Ia memilih manisan. Awalnya, dia tidak tahu menahu soal kudapan ini. Namun akhirnya belajar dan mencari pengalaman. Salah satunya dengan mengamati olahan carica di Wonosobo.
“Awal mencoba bikin, nggak jadi. Hampir 10 kali nggak jadi,” ujar Zito ketika ditemui di rumahnya, Minggu (8/8) siang lalu.
Kesulitannya saat itu, yakni mempertahankan warna salak agar tidak berubah menjadi cokelat. Setahun berjuang, Zito akhirnya bisa memproduksi dengan pas. “Saya memang ngawur. Tapi ngawur sambil niteni. Kalau bikin begini, nanti jadinya seperti apa saya amati,” katanya.
Zito terhitung sebagai pelopor olahan manisan salak di Kecamatan Srumbung. Dia pun sering mengisi pelatihan dari desa ke desa. Dari penuturannya, sudah ada sekitar 200 orang Srumbung yang belajar membuat manisan padanya.
Sebelum pandemi Covid-19, Zito memproduksi manisan salak dengan dibantu 10 pekerja. Mereka berasal dari kalangan ibu rumah tangga di sekitarnya. Namun kini, pekerjanya tersisa enam orang. Sebab, kapasitas produksi manisan salak berkurang seiring menurunnya permintaan pasar.
Dulu, Zito mengolah sedikitnya 50 kg salak menjadi manisan. Malah pernah sampai satu kuintal. Seminggu rata-rata memproduksi empat kali. Sementara kini rata-rata produksi harian berada di angka 40 kg. Kendati menurun, Zito enggan mengeluh. Dia mengaku bersyukur karena masih bisa memproduksi manisan. Setidaknya, di masa pandemi ini, usahanya tidak gulung tikar.
“Kemarin PPKM Darurat, permintaan anjlok. Alhamdulillah sekitar semingguan ini mulai naik lagi,” ucapnya.
Zito memproduksi manisan menggunakan salak dari kebunnya sendiri. Dia memiliki lahan 1.000 meter persegi. Namun jika permintaan sedang tinggi, Zito membeli salak dari tetangganya untuk memenuhi kebutuhan produksi.
Dia masih menggunakan cara tradisional. Daging buah salak yang sudah dipotong-potong direbus menggunakan tungku kayu bakar. Dia juga tidak menggunakan pemanis buatan maupun bahan pengawet.
“Pengawetannya itu ada di proses produksi,” ujar Zito sambil menyeruput teh hangat. “Setelah dipacking, manisan direbus di suhu 90 derajat selama 15 menit. Setelah itu, langsung dimasukan ke air dingin,” jelasnya.
Melalui metode tersebut, manisan salak buatannya bisa bertahan selama 6 bulan di rumahnya. Mengingat kondisi suhu udara yang dingin. Namun, untuk daerah yang lebih panas, Zito memasang masa tiga bulan.
Pria yang menjadi Perangkat Desa Polengan sejak 1997 ini memasarkan produknya ke para tengkulak hingga ke pembeli langsung. Biasanya dibeli sebagai oleh-oleh maupun kudapan di acara hajatan. Dia pernah mengirim ke Jogja, Semarang, Purwodadi, Jakarta, hingga Kalimantan.
“Malah pernah ada orang Bandung liburan ke Jogja pulangnya mampir beli oleh-oleh di sini. Pas saya tanya tahu sini dari mana, katanya dari GMaps,” ujar Zito sambil terkekeh.
Lebih lanjut Zito mengaku sudah memiliki jaringan pasar di Bali. Namun pemasarannya terkendala sertifikasi BPOM. Sejauh ini, Zito baru mengantongi P-IRT (Izin Produk Industri Rumah Tangga). Dia pun berharap ada bantuan pemerintah untuk mengurus izin dari BPOM.
“Karena UMKM kecil memang salah satu kendala pemasarannya di sini. Syukur-syukur bisa mengurus gratis. Kalaupun membayar, ya jangan mahal-mahal dan dipermudah di administrasi,” harapnya. (*/aro)