RADARSEMARANG.COM – Sudah 32 tahun, Ngargono menjadi pendonor darah aktif di Palang Merah Indonesia (PMI) Kota Semarang. Sebagai relawan, ia senang bisa berbagi sesama. Ngargono merasa badannya lebih sehat usai menyumbangkan darahnya.
Tanggal 22 Mei 1989, Ngargono kali pertama menjadi pendonor darah. Kala itu, ia ikut kegiatan sosial di kampusnya. Karena merasa badan menjadi lebih enak setelah donor darah, akhirnya ia menjadi kecanduan. Setiap tiga bulan, ia selalu menyumbangkan darahnya di PMI Kota Semarang. Bahkan, kini ia melakukannya dua bulan sekali. “Tanggal 3 Juli nanti saya akan donor darah ke-135. Jadi, hingga hari ini sudah 134 kali donor darah,” kata Ngargono saat ditemui RADARSEMARANG.COM.
Ketua Lembaga Pembinaan dan Perlindungan Konsumen (LP2K) Jawa Tengah ini menjelaskan, setiap dua bulan, sel darah akan meregenerasi. Jika saat itu tidak donorkan, menurutnya sangat rugi. Ibarat oli mesin, ditap lalu ganti baru. Bedanya, jika oli mesin jadi limbah, darah justru dibutuhkan orang lain. Selain itu, dengan donor dipastikan badan sehat. Sebab, sehat turut menjadi syarat seseorang bisa diambil darahnya. Mulai dari tensi, HB, hepatitis dan HIV/Aids, suhu, istirahat cukup, serta tidak mengonsumsi obat/jamu sebelum donor.
“Itu artinya, kalau salah satu syarat tidak terpenuhi, maka kita nggak bisa donor, jadi manfaatnya banyak,” ujarnya.
Ngargono mengatakan, tujuan terus melakukan donor karena termotivasi agar tetap sehat, serta bisa membantu sesama yang membutuhkan darah. Ia meyakini, dengan senang membantu dan beramal, bisa menjauhkan dari segala macam penyakit. Tak hanya itu, dengan donor darah justru menambah nafsu makan, sehingga imun kuat. “Alhamdulillah umur saya sudah 52 tahun, tapi nafsu makan masih tetap banyak,” katanya sambil tersenyum.
Selama ini, bapak tiga anak ini tak pernah melewatkan kesempatan untuk berdonor. Saat tiba waktunya donor, tapi belum dilakukan, ia merasa badannya pegal-pegal. “Saya pernah dua kali ditolak karena HB-nya terlalu tinggi. Setelah tiga hari konsumsi air putih yang banyak, akhirnya bisa donor lagi,” jelasnya.
Kejadian lucu juga pernah ia alami. Saat itu, ia donor di PMI ditangani oleh mahasiswa magang. Nah, mungkin karena belum terbiasa, cara menusukkan jarumnya tidak pas. Akibatnya, saat proses donor darah mencapai 25 persen, alirannya terhenti. Mahasiswa tersebut ketakutan, namun Ngargono memberikan motivasi untuk melanjutkan proses donor.
“Akhirnya dipindah ke tangan kanan, padahal sebanyak 134 kali donor itu semua dilakukan di tangan kiri. Alhamdulillah setelah dipindah tangan kanan, akhirnya bisa ngalir lagi sampai penuh,” paparnya.
Atas kejadian itu, pria kelahiran Pati, 25 Mei 1969 ini menilai manajemen PMI harus memberikan pelayanan prima. Meski bukan lembaga profit atau bisnis, tapi PMI harus dikelola oleh orang-orang yang tahu betul bagaimana memberikan pelayanan prima. Hal ini tak lain agar masyarakat yang mau donor secara sukarela semakin tambah banyak, bukan malah menyusut.
Kejadian lain yang ia alami tatkala berpartisipasi dalam HUT PMI Kota Semarang pada 2020. Saat itu, ia merasa sangat kesal dengan penyelenggara. Menurutnya, masyarakat datang dengan ketulusan saat donor, namun penyelenggara tidak memerhatikan kebutuhan masyarakat.
“Mbok misalnya di ruang tunggu ada air minum. Syukur ada dispenser, sehingga bisa buat teh, kopi, atau permen apalah. Blas, mosok pelayanan kayak gini berharap masyarakat sukarela donor, ya berat lah,” kritik suami Farida Ariyani ini.
Padahal, lanjutnya, saat itu pengunjung sangat banyak. Bahkan sampai dibuatkan tenda di parkiran depan. Seakan petugas tak siap dengan ledakan pengunjung. Bahkan, nomor antrian tidak berlaku. Pukul 12.30 baru dilakukan tes HB tanpa tensi darah. Ada yang sudah menunggu 1,5 jam, ternyata salah satu syarat yaitu berat badannya tidak memenuhi. Seharusnya, begitu datang pertama langsung dilakukan test HB, tensi darah, dan berat badan. Jika tidak lolos bisa langsung pulang, dan jika lolos bisa lanjut menunggu antrian.
“Wah ngaco. Seandainya nanti tidak lolos tensi apa tidak semakin menjengkelkan sudah berjam-jam antri,” katanya.
Dalam kesempatan itu, katanya, Ngargono sampai membayangkan ada potensi pendonor pemula yang sangat banyak sekali. Terutama dari siswa SMA/SMK, dan mahasiswa. Jika sejak muda sudah kecanduan virus untuk donor darah, maka hal ini akan menjadi sangat potensial bagi PMI. “Dapat menjaga ketersediaan stok darah, lha ini yang menurut saya tidak pernah serius digarap oleh PMI,” kritiknya lagi.
Seperti halnya dirinya yang sejak kuliah semester empat hingga sekarang masih terus menjadi relawan donor darah. Seandainya PMI bisa menciptakan pendonor darah militan, 200 orang misalnya, tentu bisa membantu mengamankan stok darah PMI.
“Saya kira sekelas Kota Semarang sangat mudah. Justru jika punya pendonor militan, istilahnya bisa dijagakke. Karena seperti saya, mau bulan puasa atau tidak, mau pandemi atau tidak, kalau sudah tanggalnya donor, maka Insya’ Allah tidak akan maju atau mundur seharipun,” tegasnya.
Selain itu, ia juga menyoroti masalah administrasi. Ia mendesak agar PMI mengubah total sistem administrasi. Dalam kartu donor darah miliknya, tertulis 134 kali, sementara dalam data IT hanya 132 kali. Hal ini sudah ia sampaikan sejak tiga tahun lalu, tapi belum ada perubahan. “Alasannya macam-macamlah, akhirnya ya tak biarin saja. Cuma agak risih juga, tapi wong mereka dikritik juga nggak mau berubah, dan berusaha memperbaiki kok, ya kalau begitu akhirnya masyarakat jadi malas tho,” tegasnya.
Sebagai aktivis lembaga konsumen, Ngargono tentu sangat terbuka dalam memberikan kritik yang membangun. Hal ini tak lain supaya ke depan pelayanan PMI dapat lebih baik, lebih peka, dan sensitif. Kendati demikian, Ngargono tidak pernah berhenti untuk menyumbangkan darahnya meski di tengah pandemi. Baginya, yang terpenting tetap mematuhi protokol kesehatan. Ia justru khawatir, jika tidak donor darah malah memunculkan penyakit baru. “Insya’Allah donor darah di masa pandemi tetap aman. Saya akan terus donor darah, istilahnya sampai saya dipanggil Allah SWT,” katanya. (ifa/aro)