RADARSEMARANG.COM – Sudah lama Marshandi, 78, menjadi perajin biola. Bahkan dia sudah tidak ingat kapan memulainya. Marshandi hanya ingat kenangan biola rusak yang hendak dibuang pemiliknya. Biola yang tidak sengaja kembali utuh karena diotak-atik tangannya.
Marshandi tidak punya bakat bermusik. Katanya, juga tidak bisa menyanyi. Namun dia menggemari musik keroncong. Karena itulah Marshandi tertarik pada biola, salah satu alat musik pengiringnya.
“Saya bisa main biola, tapi ya iso-isoan,” ujar Marshandi ketika ditemui RADARSEMARANG.COM di rumahnya di Dusun Candi, Desa Sumber, Kecamatan Dukun, Kabupaten Magelang, Minggu (13/6/2021) siang.
Marshandi kemudian menunjukkan satu per satu biola buatannya kepada wartawati koran ini. Disusun di sofa ruang tamunya. Sebuah biola berwarna coklat mengkilap lantas dia letakkan di bahu. Kemudian dia mengambil busur, dan mulai menggesek alat musik tersebut.
Menurut pengamatan koran ini, biola buatan Marshandi apik secara bentuk maupun suara. Dari gesekan yang dia mainkan, terdengar keras dan merdu. Tidak fals. Terbilang sangat bagus untuk sebuah karya buatan tangan manusia yang dimulai secara otodidak.
Marshandi tidak setiap hari memproduksi biola. Biasanya hanya sesuai pesanan. Namun kemarin, di rumahnya masih ada biola yang belum selesai. Kata Marshandi, butuh waktu sekitar satu bulan untuk menyelesaikan satu unit biola.
Pria yang pernah bekerja di pabrik kertas di Blabak, Kecamatan Mungkid, ini membuat biola menggunakan kayu mahoni. Pertama, dia mempersiapkan lembaran kayu lalu dibuat pola. Selanjutnya lembaran kayu dipotong sesuai pola.
Dia juga mempersiapkan kerangka bagian tengah biola untuk menyatukan bagian atas dan bawah. Agar terlihat mengkilat dan cantik, biola dipolitur. Proses ini yang membutuhkan waktu lama. Sebab, kata Marshandi, terkadang dia juga menggunakan dempul sebelum menggunakan politur. Tujuannya, agar pori-pori kayu tertutup rapat.
Kemudian setelah dawai dipasang, penyeteman pun dilakukan. “Kalau sekadar menggesek dan menyetem, saya memang bisa,” ujarnya sambil membetulkan posisi masker di mulutnya.
Pemesan biola Marshandi kebanyakan berasal dari luar kota, seperti Jakarta dan Salatiga. Umumnya mereka tahu Marshandi melalui kabar dari mulut ke mulut. Malah pernah, Marshandi ditelepon orang Salatiga. Seminggu kemudian, orang itu mendatangi rumahnya. Bukan untuk memesan biola, malah memesan gitar.
“Saya belum pernah bikin gitar, tapi ya saya bikinkan. Malah dia mintanya pakai kayu, bukan pakai triplek,” kenang kakek empat cucu ini.
“Orangnya bilang, saya percaya sama Bapak. Bapak pasti bisa,” ujarnya sambil terkekeh.
Gitar buatan tangannya waktu itu dihargai Rp 4 juta. Sementara harga biola karyanya variatif. Ada yang dijual Rp 1,5 juta. Ada yang dijual Rp 1,7 juta.
Biola-biola buatannya pun dipakai Rudi, maestro biola Kecamatan Muntilan. Dipakai pula oleh Mira, cucunya yang bergabung bersama kelompok musik anak muda yang dibimbing Rudi. Marshandi menunjukannya melalui foto-foto yang menempel di dinding rumahnya. “Ini Pak Rudi yang ngajarin Mira. Pakai biola buatan saya yang dibikin warna hijau,” katanya.
Sebelum pandemi Covid-19, meski tidak menentu jumlahnya, dalam sebulan Marshandi selalu menerima pesanan. Namun selama pandemi, pesanan biola sangat sepi. Desember tahun lalu ada yang memesan, tetapi sampai sekarang belum diambil. Belum membayar uang muka pula.
“Kemarin ada yang servis. Tapi servis kan tidak seberapa,” ujar Marshandi.
Akan tetapi, Marshandi mengaku enggan mengeluh. Dia nrimo dan paham bahwa selama pandemi memang situasi sulit. Sebab, kata Marshandi, dengan nrimo dia merasa hidup lebih tenang. Menjadi lebih awet muda pula. “Ya selain nrimo, berserah sama Tuhan,” tuturnya. (rhy/aro)