RADARSEMARANG.COM – Kecintaan Awaluddin Setya Aji pada air tercermin dari salah satu hobinya. Dia mengkoleksi berbagai jenis, dan merek air mineral dalam kemasan (AMDK) sejak 2002 silam.
Mantan Direktur Akademi Teknik Tirta Wiyata (Akatirta) dua periode sejak 2011-2019 itu menghitung, sampai Februari 2021 koleksinya mencapai 1.900-an merek AMDK dari seluruh dunia. Seperti dari Indonesia, Yerusalem, Swiss, Italia, Fiji, Arab, Inggris, Belanda, dan sebagainya. Tiap merek, punya lebih dari satu botol. Satu untuk dikoleksi, selebihnya untuk diteliti. Harga AMDK itu dia beli mulai Rp 500 sampai Rp 100.000.
“Tapi nggak semua saya beli sendiri, ada beberapa yang dikasih teman,” aku Aji, pemilik Joglo Jeep Gunungpring itu.
AMDK itu didapatkan saat di berkunjung ke daerah, maupun ke sebuah negara. Dari hotel-hotel, jamuan acara, juga membeli di toko. “Dari AMDK yang saya beli di warung, sampai yang diminum pejabat negara, ada semua.”
Lalu di ruang tamunya yang mungil, Aji menempatkan almari kayu berukuran besar. Perabotan ini digunakan untuk menyimpan koleksi. Botol-botol, dan air mineral gelasan ditata cukup rapi. Saking banyaknya koleksi, ada pula yang harus disusun bertingkat. Ditumpuk supaya muat. “Tapi yang di kamar saya masih hanyak loh, hahaha,” ucap Aji sambil melepas tawa.
Dia mengaku kebingungan harus menaruh di mana lagi koleksinya. Karena beberapa ruangan telah dia pakai untuk “rumah hobi” lainnya. Ya, digunakan untuk menyimpan ratusan keris, sepeda motor kuno, juga mobil-mobil kuno dengan harga, dan perawatan fantastis. “Saya baru ingin membuat ruang panel khusus untuk majang AMDK ini,” akunya.
Tapi dia selalu mendadak tegang. Deg-degan. Jika kedatangan tamu yang membawa anak kecil. Menangis meminta satu koleksinya. Dilema. “Di sisi lain berat, tapi ada rasa nggak tega. Sekarang saya setok minuman kesukaan anak kecil di rumah,” akunya.
Menurut Aji, koleksinya itu banyak yang tidak layak minum. Selain kedaluwarsa, ada pula yang komposisi airnya rusak. “Ada yang berlumut, ada yang berubah keruh. Padahal di sini nggak kena matahari. Berarti kualitas air itu buruk.”
Aji melanjutkan ceritanya. Dia memang memiliki latar belakang pendidikan khusus. Tahun 1994, di belajar di Sekolah Tinggi Teknik Lingkungan (STTL), Yayasan Lingkungan Hidup (YLH) Jogjakarta. Dulu peminat program pendidikan ini sedikit. Sekelas hanya 38 dari seluruh Indonesia. Setelah lulus tahun 1998, dia langsung jadi konsultan teknik lingkungan. Sejak muda, ia selalu resah. Jika warga Indonesia kesulitan mendapatkan air bersih, karena banyak faktor. Alam yang rusak, atau karena pengelolaan sumber daya alam yang salah.
Sejak itu, kecintaan pada air terpatri dalam diri. Mengoleksi AMDK, tidak semata untuk klangenan. Tapi juga untuk memperdalam pengetahuannya tentang kualitas air, komposisi air, pengemasan, labeling, bahan kemasan ramah lingkungan, tutup botol, pemasaran, branding, dan efek atau manfaat tubuh. “Yang terakhir buat lucu-lucuan, hahaha,” celetuk Aji sambil tertawa, dan geleng-geleng kepala. Bahkan Aji masih heran, kenapa dia punya hobi yang sedikit beda dengan orang kebanyakan. Bahkan dengan teman-teman seprofesinya.
Dari AMDK, dia tahu Singapura mampu mengolah air limbah, menjadi air minum yang secara kualitas memenuhi syarat. Mengapa demikian? Kata Aji, sumber mata air di sana terbatas. Mau tidak mau, harus mengolah air limbah. Biaya produksinya tinggi. Dikelola profesional. “Kualitas, dan dikontrol ketat,” tandasnya.
Di salah satu kepulauan Australia, ada air minum yang diolah dari air embun. Lingkungan mendukung. Tidak tercemar. Tidak banyak polusi. Lalu di Israel, AMDK gunakan plastik biodigredeble. “Kalau dibuang, plastiknya bisa membusuk. Nggak mencemari tanah, harganya mahal,” ungkapnya.
Sedangkan di Indonesia, belum biodegredable. Berpotensi tinggi merusak lingkungan. Puluhan tahun, bahkan sampai ratusan tahun belum terurai. “Ini PR bersama, antara pemerintah, pengusaha, dan masyarakat,” tuturnya.
Pengalaman dia menjadi konsultan teknik lingkungan untuk Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) seluruh Indonesia, membuat dia kaya referensi. Sekarang sedang dirangkul Bank Dunia (World Bank) untuk menangani hal sama. Dia akui, kualitas air di Indonesia lebih unggul. Hanya kalah pada pengemasan, branding, dan pemasaran. “Butuh kebijakan pemerintah,” tegasnya. (put/ton)