RADARSEMARANG.COM, Sejak 2018, Komunitas Seangle Semarang telah melakukan berbagai upaya untuk mengurangi sampah di Kota Semarang. Terutama di pesisir laut utara Jawa. Komunitas ini selalu mendorong kepedulian masyarakat untuk tidak membuang sampah di laut.
TITIS ANIS FAUZIYAH, Radar Semarang
KOMUNITAS Seangle Indonesia yang awalnya berdiri di Palu ini terbentuk pada saat kegiatan Indonesian Youth Marine Debris Summit pada 2017. Komunitas yang dianugerahi sebagai Best Action Plan ini mendorong masyarakat untuk berpastisipasi dalam mengatasi permasalahan sampah.
Dalam praktiknya, Seangle memiliki tiga program. Rumah Pendidikan Sampah (Rupiah) memiliki desa binaan di kawasan Mangkang. Lalu, Seaschool berkeliling ke sekolah dan mengajarkan anak-anak pentingnya menjaga ekosistem laut dengan merawat lingkungan dan bijak mengelola sampah. Upcycling, mengedukasi masyarakat untuk meningkatkan nilai jual sampah dengan pengolahan yang tepat. Seperti pembuatan ecobrick di beberapa kelurahan.
Hingga hari ini pesisir pantai di Semarang masih belum bisa bebas dari belenggu sampah. Oleh karenanya, Pranata Candra Perdana Putra, Koordinator Seangle Semarang bertekad untuk mengajak warga Semarang bersama menjaga ekosistem laut. Tanpa laut yang sehat, manusia sulit hidup di bumi.
“Perilaku manusia di daratan seperti perihal buang sampah pun secara tidak langsung berdampak pada kehidupan laut,” tuturnya kepada RADARSEMARANG.COM, Kamis (3/6).
Ekosistem laut yang terganggu akibat timbunan sampah, menyebabkan ikan-ikan di dalamnya sulit bertahan hidup. Kualitas air laut tentu memburuk lantaran tercemar oleh sampah dan kandungan kimia berbahaya lainnya. Tanpa ikan, terumbu karang, dan tumbuhan laut tak bisa hidup. Bahkan para ilmuwan menyebutkan bila tak segera diselamatkan, maka 2048 laut akan mati.
Dikatakan, laut mati karena tak ada lagi ikan dan tumbuhan laut yang hidup di dalamnya. Akhirnya, laut tak lagi menjadi penyumbang oksigen terbesar di bumi. Manusia kekurangan sumber udara bersih, bumi pun ikut memanas. Demikian gambaran mengerikan bila perilaku acuh tak acuh pada sampah laut terus dibiarkan.
Menanggapi hal itu, pada Februari 2021 lalu, Seangle mulai mendata sampah pesisir di Semarang setiap akhir bulan. Akhir Mei lalu, relawan Plastic Free Ocean Network (PFON) menyusuri pesisir pantai di Semarang untuk mendata timbunan sampah. Dimulai dari Pantai Cipta, Baruna, dan Marina.
Diperkirakan tumpukan sampah plastik yang memadati Pantai Cipta berusia puluhan tahun. Sedangkan kurang lebih sepanjang 400 meter pesisir Pantai Baruna sampah didominasi pakaian. Celana pendek, kaos, celana dalam, hingga sepatu dan sandal dengan berbagai ukuran tertimbun di sana.
Pendataan menggunakan metode Commonwealth Scientific and Industrial Research Organisation (CSIRO). Sampah yang ditemukan sangat beragam mulai dari jenis plastik, logam, karet, hingga kasur yang terdampar di pesisir. Setelah dicatat dan direkapitulasi, hasil dilaporkan kepada PFON Pusat.
“Nanti PFON menyampaikan ke perusahaan produsen yang punya sampah itu. Dalam aksi pemerintah juga diberi laporan untuk nanti bisa clean up bareng,” jelasnya.
Di Pantai Cipta, sebagian besar warna plastik telah pudar. Merek kemasan pun tak bisa diidentifikasi, karena sudah termakan usia. Meski begitu timbunan sampah plastik tak dapat terurai. Sedangkan di Pantai Baruna, ratusan sampah pakaian sampai mengakar ke dalam pasir. Ranting pohon yang tumbang di tepi pantai pun kini berdaun sampah plastik dan pakaian.
Ketua Departemen Project and Research Seangle Himmatul Ulya mengatakan, pihaknya telah berkolaborasi dengan relawan Yayasan TAKA dalam aksi ini. Ia juga menginisiasi gerakan mengurangi penggunaan sedotan atau strawless movement. Ia berkampanye secara online dan offline. Setiap bulan ia bekeliling ke tempat umum dan kuliner untuk kampanyenya. Ia menempelkan poster dan membagikan sedotan bambu secara gratis.
“Sementara tercatat ada 26 relawan. Kalo untuk ngatasin sampah pesisir kan nggak mungkin bisa beresin ini dengan sedikit orang. Kalau bareng DLH (Dinas Lingkungan Hidup) bisa dibantu ngangkut ke TPA juga nanti,” paparnya.
Berdasarkan penyisiran ketiga pantai, Cipta menjadi pantai dengan sampah terbanyak. Hal ini karena faktor geologi dan pengelolaan yang berbeda-beda. (*/aro)