RADARSEMARANG.COM, Melalui Bank Sampah Lestari Magenta, Augusti Satrio berkeliling Kota Semarang bersama anggota dan relawan. SD, PKK, dan kelurahan ia datangi. Gusti mengajak mereka untuk melek dengan krisis lingkungan. Lalu belajar mengelola sampah bersama sebagai bentuk tanggung jawab.
TITIS ANIS FAUZIYAH, Radar Semarang
Augusti Satrio awalnya miris melihat masalah sampah yang tak juga teratasi. Karena ingin menjadi bagian dari solusi, pria asal Ungaran, Kabupaten Semarang ini membentuk komunitas Bank Sampah Lestari Magenta pada Desember 2018.
Gusti –sapaan akrabnya—memulai gerakannya dari akar. Bersama timnya, ia berkeliling membawa gerobak sampah saat Car Free Day (CFD) di Lapangan Simpang Lima. Gerobak didorong menyusuri tiap sudut keramaian untuk menampung sampah. Baik yang masih dipegang di tangan orang lain maupun yang berserakan di jalan. Sebagai gantinya, ia memberi bibit tanaman bagi warga CFD yang berkontribusi dalam gerakannya.
“Kita apresiasi mereka dengan tanaman. Ibaratnya sampah kita tukar dengan sebuah kehidupan,” tutur Gusti kepada RADARSEMARANG.COM.
Seiring berjalannya waktu, organisasinya bekerja sama dengan banyak stakeholder, perusahaan, dan komunitas lainnya. Ia juga mengambil peran besar pada momen Hari Peduli Sampah Nasional 2019. Bahkan berhasil merangkul sebanyak 1.000 volunter untuk aktif pada rentetan kegiatan kala itu.
Puluhan bank sampah yang tersebar di kelurahan di Kota Semarang pun berada di bawah binaannya. Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Semarang sangat mengapresiasi upayanya. Ia melakukan survei bagi kelurahan yang memiliki potensi untuk diajak mengolah sampah.
Dalam perjalanannya, tak sekali ia gagal. Ia pernah diusir warga saat hendak melakukan sosialisasi karena miss komunikasi. Setelah diselesaikan oleh pihak internal warga, mereka mengundang Gusti untuk kembali. Pihaknya tak keberatan. Ia cukup memahami masyarakat yang cenderung mengutamakan nilai ekonomi dari sebuah gerakan atau program.
“Ya, kadang kendalanya di sana. Orang kan penginnya semuanya punya profit. Tapi, juga susah konsisten buat menjalani dan mengelola bank sampah,” jelasnya.
Di samping membina bank sampah, pihaknya juga bekerja sama dengan PT Indofood pada program Corporate Sosial Responsibility (CSR). Sebagai wujud tanggung jawab, perusahaan besar bersedia mengolah ulang limbah produknya.
Namun terlepas dari segala program yang telah diupayakan, Gusti memiliki perhatian khusus dengan anak-anak. Khususnya anak usia sekolah dasar. Menurutnya, anak-anak pada usia tersebut mudah diajari hal baru. Selain itu lingkup sekolah mampu membiasakan perilaku cinta lingkungan yang secara tidak langsung akan membentuk karakter anak.
“Mungkin mengubah kebiasaan orang dewasa itu lebih sulit. Makanya kita tanamkan kebiasaan sejak anak-anak,” katanya.
Sebanyak 22 SD telah dibina untuk membentuk bank sampah. Semua peserta didik terlibat aktif secara langsung dalam pengelolaannya. Guru ikut membantu dan mengarahkan jalannya program tersebut.
Anak-anak diajarkan memilah sampah sesuai jenisnya. Lalu mengolah sampah organik menjadi pupuk kompos atau cair. Sedangkan sampah plastik yang masih bisa didaur ulang, disulap menjadi tas atau perkakas lainnya.
Saat masuk, masih banyak sekolah yang bergantung pada plastik kemasan sekali pakai. Melihat hal itu, pihaknya menerangkan dengan sangat gamblang di hadapan anak-anak bila sampah yang kita hasilkan merupakan tanggung jawab kita semua. SD Negeri Srondol Wetan 05 merupakan salah satu sekolah yang dibinanya.
“Awalnya kami ya trial and error sampai seminggu di sekolah. Mencoba cari metode yang pas buat mendorong kesadaran anak, biar nantinya mereka mudah diajak mengelola bank sampah,” terangnya.
Ia menambahkan, usia anak-anak adalah usia emas untuk memupuk kesadaran tentang isu krisis lingkungan yang terjadi saat ini. Nantinya mereka juga yang akan menderita di masa depan bila tak ada upaya, dan pergerakan untuk menjaga bumi. Khususnya lingkungan hidup masing-masing.
Lika-liku pahit manis perjalanan Gusti dalam menekuni pekerjaan sosial tak pernah ia sesali. Meski profit yang diperoleh tak seberapa, dan tak selalu ada, ia tetap menikmati kegiatan tersebut. Ia berharap pandemi segera berakhir agar anak-anak bisa kembali mengelola bank sampah. Timnya pun bisa berkeliling lagi ke sekolah yang belum dijangkau. “Saya seneng sih, punya kepuasan tersendiri saat bisa saling berbagi, dan menjalin relasi kemana pun, baik dinas maupun sekolah,” katanya.(*/aro)