28 C
Semarang
Monday, 16 June 2025

Bikin Inovasi Cobek Karakter, Pakai Batu Gunung Merapi

Tri Agung Setyawan, Pulang dari Jepang, Bisnis Kerajinan Cobek

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Sepulang merantau dari Jepang, Tri Agung Setyawan kebingungan ingin berbuat apa. Ia kemudian diajak saudaranya untuk memulai bisnis kerajinan cobek. Awalnya ragu, tapi kini menghasilkan banyak pundi-pundi rupiah.

PUPUT PUSPITASARI, Mungkid, Radar Semarang

Ngiiiiiang, ngiiiuuung. Suara mesin bubut cukup keras terdengar oleh telinga siapa saja yang melewati sentra kerajinan cobek Dusun Seloiring dan Selobentar, Kelurahan Banyudono, Kabupaten Magelang. Dua dusun ini berjejeran. Namun suasana berubah sunyi ketika laju kendaraan bermotor nyaris di ujung Dusun Selobentar. Suara mesin bubut itu berganti suara krak-krak-krak. Bunyi tarikan lakban berukuran besar yang ditempelkan pada bidang kayu.

Siang itu, Tri Agung Setyawan dibantu karyawannya tengah sibuk mengemas barang yang akan dikirim ke luar kota. Banyaknya pengiriman cobek hari itu, membuat proses produksi sementara diliburkan. “Kita sedang fokus packing Mbak,” ujar Agung kepada RADARSEMARANG.COM.

Terlihat banyak cobek dengan berbagai model dipajang di teras rumah. Sebagian besar sudah pesanan. Tinggal dibungkus. Di dalam rumahnya juga terdapat beberapa contoh cobek karakter yang sengaja ditaruh di lantai. Bahkan ruang tamunya, sengaja digelar hanya satu karpet berwarna hijau. Supaya tamu lebih santai ngobrol. Memudahkan ia menawarkan dagangannya juga.

Agung mempersilakan wartawan ini duduk. Dia nampak malu hendak diwawancara. Meskipun dia pernah punya pengalaman menjadi narasumber hebat di sebuah webinar yang digelar oleh jasa ekspedisi kenamaan di Indonesia. “Apa saya pantes diliput, hehehe,” begitulah Agung membuka obrolan.

Ia tetap menunjukkan sikap rendah diri. Meskipun sekarang menjadi pengusaha sukses di usia yang masih relatif muda. Pemuda kelahiran Magelang, 13 Mei 1988 ini memulai usaha kerajinan cobek sejak 2015 atau di usia 27 tahun. Usahanya dinamai Cobek Sanggar Rejeki. Nama itu sebagai refleksi doa agar usahanya tak sekadar jalan, tapi mampu membawa banyak keberuntungan bagi siapapun yang terlibat.

Agung memulai bisnis di saat mengalami puncak kebingungan. Setelah pulang merantau dari Negeri Sakura. Banyak uang yang terbuang sia-sia. Pada akhirnya, ia berjumpa dengan saudara yang mengajaknya kerja sama. Ia yang modal, dan membeli peralatan. Saudaranya yang memproduksi cobek. “Saudara saya ini sudah pengalaman lama untuk membuat cobek,” tuturnya.

Dengan bermodal uang tabungan Rp 10 juta, ia memulai usaha cobek. Kebetulan di dusunnya, kerajinan cobek sudah dikenal luas. Banyak didatangi para pengepul. Tapi begitulah soal harga. Sangat ditekan.

Adanya intervensi dari pengepul, membuat antarperajin perang harga. Sudah capek produksi, eh untungnya tipis. Belum memuaskan. “Iseng-iseng, saya mencoba buka galeri sendiri untuk penjualan,” ujarnya.
Kali ini, prediksinya meleset. Niat untung, malah buntung. “Kacau, hahaha,” kenanganya.

Bagaimana tidak, Agung memutuskan untuk mengurus semuanya sendiri. Produksi, pemasaran, pengiriman, dan mencari bahan baku. “Capek luar biasa,” ungkapnya sambil geleng-geleng kepala.

Ia putuskan fokus pada satu bagian. Memegang pemasaran. Ia merekrut enam orang karyawan. Masing-masing punya tugas, sesuai keahlian. Sejak itu, penjualannya kencang. Tiap seminggu, mampu memproduksi lebih dari 600 cobek dengan berbagai model, dan ukuran.

Namun sayang, pandemi Covid-19 menghajar usahanya. Ia memberhentikan semua karyawan. Sama sekali tidak ada pesanan. “Saya down banget,” ucapnya lirih.

Ia ikut terdampak, saat tak bisa lagi memasok ke tempat-tempat wisata. Beruntung ia pernah ikut pelatihan mengelola bisnis kerajinan kreatif yang digelar Pemkab Magelang pada 2018. Maka saat pandemi, ia mengaplikasikan banyak ilmu yang sebelumnya tidak pernah dipakai. Sejak Mei 2020, dia memulai memasarkan cobek secara online.

“Ternyata kunci usaha itu di pemasaran. Kalau hanya fokus diproduksi terus, pasti akan kalah,” kata Agung yang saat ditemui mengenakan kaos merah bertuliskan “Baju Kerja Cobek Sanggar Rejeki”.

Sejak itu, pesanan kembali mengalir. Ia kembali mempunyai enam karyawan. Setelah dijalani, ia tahu bahwa banyak orang luar kota yang belum kenal dengan cobek berbahan batu alam. “Mereka tahunya, cobek itu terbuat dari campuran pasir dan semen,” tuturnya.

Inilah yang membuatnya makin getol memasarkan secara online. Tanpa meninggalkan pemasaran konvensionalnya. Dua-duanya jalan beriringan. “Pengiriman barang sudah sampai ke luar Jawa. Sekarang banyak reseller dan dropshiper,” ungkapnya penuh semangat.
Dia mengaku, awal membuka usaha kerajinan cobek tidak meyakinkan bagi banyak orang-orang terdekatnya. Pemikiran mereka simpel. Cobek adalah alat kebutuhan rumah tangga yang sangat awet. Mana mungkin akan terus dibutuhkan. Di sisi lain, banyak pula alat masak modern yang memudahkan mengolah bumbu-bumbu dapur.

“Dulu saya juga sempat mikir gitu loh. Tapi kan masih banyak orang-orang di luar sana yang belum punya cobek dari Magelang, dan batu yang paling bagus kan dari Merapi. Ini peluang,” akunya.

Ia pun selalu menjaga kualitas produknya. Memakai batu dari lereng Gunung Merapi. “Jenis batu andesit, mirip yang dipakai untuk membuat candi-candi itu,” jelasnya.

Inovasi produk juga terus dilakukan agar tidak monoton. Ia melayani cobek bulat, dan berkarakter. Ada bentuk Hello Kitty, angsa, dan buah-buahan. Yang paling baru, merambah cobek suvenir berukuran mini dengan diameter 10 sentimeter.

Bicara soal proses, lebih mudah membuat cobek karakter. Limbah batu juga lebih sedikit ketimbang bentuk bulat. Bongkahan batu dipotong memakai gergaji mesin, sampai membentuk lembaran. Setelah itu dimal. Baru dipotong menyesuaikan pola. “Dibentuknya pakai gerinda tangan dan pahat. Kira-kira satu cobek karakter prosesnya sampai satu jam.”

Beda dengan bentuk bulat. Lembaran batu dipotong menggunakan gergaji, dibuat setengah jadi. Setelah itu dibentuk, dan dihaluskan dengan mesin bubut. “Harganya juga beda. Cobek karakter mulai dari Rp 25 ribu sampai Rp 150 ribu. Yang bulat mulai Rp 50 ribu sampai Rp 150 ribu,” tutur suami dari Rachmawati Listyaningsih ini.

Jatuh bangun usaha kerajinan cobek sudah ia rasakan. Ia pun menjadikannya sebuah pelajaran berharga. Termasuk pengalaman membeli bahan baku mencapai satu pikap, namun tidak bisa digunakan. Ia salah membeli batu.
Memang saat ini mencari bahan yang berkualitas susah. Tapi ia tidak lelah srawung dengan para penambang. Sehingga mudah mendapatkan barang sesuai yang dibutuhkan.

Ia pun berbagi tips menjaga keawetan cobek berbahan batu alam. Setelah pemakaian, harus dicuci bersih menggunakan sikat. Dibilas air, lalu direndam menggunakan air hangat atau panas. “Biar bakterinya mati, minyak-minyak terangkat. Setelah itu dikeringkan, supaya tidak berjamur. Baru bisa disimpan,” jelasnya. (*/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya