RADARSEMARANG.COM, Sudah setahun lebih sekolah-sekolah di negeri ini menggelar pembelajaran jarak jauh (PPJ) alias daring. Banyak suka duka dialami guru, siswa, dan orang tua siswa. Apalagi di sekolah yang terletak di daerah terpencil, termasuk di lereng pegunungan.
SEJAK 9 Maret 2021 lalu, Kabupaten Batang memberlakukan pembelajaran tatap muka (PTM). Salah satu alasannya karena sulitnya pembelajaran jarak jauh diterapkan di daerah pegunungan. Misalnya, di Desa Pranten, Kecamatan Bawang, dan Desa Gerlang, Kecamatan Blado. Kedua wilayah tersebut tak terjangkau jaringan internet. Selain itu, keduanya juga masuk zona hijau, bahkan nol kasus sejak pandemi Covid-19.
Koran ini sempat mengunjungi SD Negeri 3 Pranten, Kecamatan Bawang. Sekolah ini berjarak sekitar 11 kilometer dari kantor Kecamatan Bawang, dan 52 kilometer dari pusat Kota Batang. Untuk menuju ke sana melalui jalan Bawang menuju Dieng alias Tol Khayangan yang sempat viral beberapa waktu lalu. Ada tiga tanjakan curam yang tidak semua kendaraan bisa melewatinya.
Wilayah ini terletak di lereng utara Gunung Prau dan Gunung Sipandu, dengan ketinggian sekitar 2.300 mdpl. Jalan beton yang mulus berhenti di pertigaan Tol Khayangan, Sigemplong. Memasuki area pemukiman, jalan bebatuan cukup tajam dan licin mendominasi. SD Negeri 3 Pranten berada di tengah permukiman. Aksesnya hanya bisa dilewati sepeda motor.
Gedung sekolah berbaur dengan rumah warga. Ada gedung yang berada di bawah, dan sisanya di atas. Beberapa siswa terlihat telah beranjak pulang. Sementara siswa lain masih di dalam kelas mengerjakan soal ujian tengah semester. Jam di ponsel menunjukkan pukul 09.00.
“Monggo ke atas, di kantor ada orang,” sapa seorang guru saat wartawan koran ini memperkenalkan diri.
Kebetulan koran ini berpapasan saat hendak berjalan menuju ruang kelas. Wartawan koran ini memutuskan untuk jalan kaki menuju gedung sekolah yang berada di atas. Motor tidak memungkinkan naik, karena jalan terlihat berlumut dan licin. Sampai di ruang guru, koran ini bertemu dengan Lukman Hakim. Ia adalah wali kelas satu, guru PAI, dan budi pekerti.
Ia menjelaskan, dalam satu kelas, siswa yang mempunyai ponsel bisa dihitung dengan jari. Ponsel yang dimiliki juga belum tentu milik siswa itu sendiri, melainkan milik orang tua atau kakaknya. Sehingga tidak bisa digunakan sepenuhnya oleh si anak.
Karenanya, pemberlakuan PTM di Kabupaten Batang disambut baik oleh semua pihak. Baik orang tua, guru, dan masyarakat sekitar. “Adanya kebijakan PTM ini orang tua pada senang. Setelah lama belajar di rumah, anak masuk sekolah itu terlihat senang sekali. Bahkan kelas selalu penuh, mereka berangkat terus. Ada semangat baru setelah libur satu tahun,” ujarnya kepada RADARSEMARANG.COM.
SD Negeri 3 Pranten punya 62 siswa. Satu kelasnya rata-rata diisi 10-an siswa. Jumlahnya bervariasi mulai tujuh, sembilan, hingga 12 siswa. Guru kelas yang ada juga masih dirasa kurang. Hanya ada tiga orang. Menurutnya, PJJ yang sudah berlangsung satu tahun dirasa sangat tidak efektif.
Bagaimana tidak, banyak faktor yang menghambat siswa. Mulai dari sinyal, ketersediaan ponsel, juga kebiasaan masyarakat setempat. Rata-rata warga Pranten bekerja sebagai petani. Mereka lebih banyak bekerja di sawah sejak pagi ketimbang berada di rumah. Masyarakat setempat menyebutnya ngalas.
“Kebanyakan orang tua petani. Anak hanya tinggal di rumah, tidak mendapatkan bimbingan. Orang tua berangkat sejak pagi. Walaupun sudah memberikan tugas melalui orang tua, karena kesibukan dalam bekerja mereka lupa,” tuturnya.
Selain itu, ketersediaan ponsel sebagai piranti PJJ juga menjadi kendala tersendiri. Ia menjelaskan jika di kelas 3 ada 10 siswa, sementara yang punya ponsel hanya tujuh orang. Dari tujuh siswa, tiga anak ponselnya dibawa sang kakak ke pondok pesantren. Sementara empat lainnya ponsel dibawa orang tuanya ngalas. Jadi, dari 10 siswa yang murni memegang ponsel hanya satu orang.
“Kalau dilangsungkan pembelajaran online seperti kemarin jelas tidak akan jalan. Ada banyak faktor, terutama akses internet sulit. Lihat sendiri di ponselnya,” ucapnya.
Wartawan koran ini menengok sinyal di ponsel. Terlihat keterangan 4G di atas bilah sinyal. Saat dites untuk mengirim pesan WhatsApp, muncul ikon jam di sudut pesan. Sinyal perlahan berubah menjadi E, dan menghilang. Kabut juga sangat mempengaruhi jaringan di sana. Padahal kabut bisa dikatakan turun setiap pagi dan sore hari.
Karena alasan kabut itulah guru di sana lebih memilih menggunakan sepatu boots. Saat kabut turun, seringkali dibarengi dengan hujan. Hingga membuat jalanan di lokasi itu licin. “Jaringan susah. Yang bisa hanya Telkomsel. Itu pun sering menghilang. Yang punya ponsel juga kebanyakan nganggur ponselnya. Jaringan tidak tersedia,” timpalnya.
Benar saja, provider lain Indosat Ooredoo di ponsel wartawan ini tidak menunjukkan bilah sinyal sama sekali. Tertanda x. Lukman melanjutkan, SDM di daerah atas berbeda dengan SDM di daerah pedesaan pada umumnya.
Pembelajaran daring di tempat tersebut hanya memanfaatkan WhatsApp. Pihaknya pernah menggunakan google meet satu kali, peserta didik serta wali murid juga sudah diajarkan. Namun tetap tidak bisa terlaksana. Kendala jaringan, ketersediaan ponsel, juga pemahaman yang sulit diperoleh. Bisa dibayangkan, pembelajaran berlangsung dengan panggilan video yang selalu terjeda. Suara yang keluar pun tidak tentu jelasnya karena terputus-putus.
“Ada grup WA itu pun hidup mati. Saya kirim pesan sekarang, nanti balasnya besok atau besoknya lagi. Tiap ketemu wali murid mereka bilang, mbok mlebu mawon Pak Guru,” kata Lukman.
Menurutnya, tingkat pemahaman siswa saat daring dan sekarang PTM perbedaannya sangat jauh. PJJ itu lebih banyak memberi tugas, tugas, dan tugas. Tidak tahu siapa yang mengerjakan, siapa yang menulis, dan paham atau tidak. Murid tidak bisa dikontrol.
Melihat pembelajaran yang tidak efektif itu, pihak sekolah pun ikut putar otak. Bagaimana pembelajaran bisa tetap berlangsung selama pandemi. Sedangkan kebijakan dari pemerintah belum memperbolehkan PTM. Anak-anak pun tiap pagi diminta berangkat. Waktunya tidak sampai 10 menit, dilakukan untuk pemahaman dan pengambilan tugas.
Saat belajar daring siswa dianggap telah kehilangan karakter yang sebelumnya telah terbentuk. Seperti sikap, ucapan, unggah-ungguh basa dengan guru, dan lain sebagainya telah hilang. Ibarat kasarnya, sudah hidup di alam liar kembali ke kandang lagi. Perilaku siswa sudah jauh berbeda, terbawa saat mereka selalu belajar di rumah.
Ia menjelaskan, jika kehilangan ilmu pengetahuan, dalam jangka pendek bisa diraih, tapi kalau karakter sangat susah. Proses pembentukan karakter sangat lama, tapi bisa hilang dalam sekejap, ketika tidak bisa dirawat. Ibarat sudah evolusi.
“Saya merasa anak sudah tidak seperti dahulu. Anak untuk menangkap penjelasan itu susah, harus diberi stimulus terlebih dahulu. Ini baru satu tahun tidak masuk, coba kalau beberapa tahun lagi. Bisa dibayangkan,” tandasnya. (*/aro)