RADARSEMARANG.COM, Dukuh Simonet, Desa Semut, Kecamatan Wonokerto, Kabupaten Pekalongan terus terkikis abrasi. Satu-satunya jalan penghubung ke daratan pernah putus berkali-kali. Sambil menunggu relokasi, warga terus bekerja bakti mengupayakan jalan itu tetap bisa dilalui.
NANANG RENDI AHMAD, Pekalongan, Radar Semarang
SUROSO, 55, menghela nafas sambil mengibas-ngibaskan topi ke wajah. Sebagaimana warga lain, ia menepi ke tempat yang lebih adem. Sudah sejak pukul 08.00, ia bersama belasan warga lain bekerja bakti memperbaiki jalan. Mendekati waktu Jumatan, Suroso dan belasan warga lain itu beristirahat. “Pekerjaan belum sampai 50 persen itu,” kata Suroso.
Wartawan koran ini juga beristirahat. Duduk berdua bersama Suroso di sebuah bangunan beratap tak terpakai. Hanya beberapa meter di belakang mereka duduk, sudah garis pantai. Ombak bisa dilihat dengan jelas. Suara desirannya juga jelas.
“Dahulu garis pantai sangat jauh sekali dari permukiman ini. Jaraknya mungkin 1,5 kilometeran dari sini,” kata Suroso menggambarkan Dukuh Simonet puluhan tahun lalu saat ia masih kanak-kanak.
Warga lain sudah kembali ke rumah masing-masing. Hanya Suroso dan wartawan koran ini yang masih berada di sekitaran lokasi kerja bakti. Suasana yang semula ramai, jadi sepi.
“Kami merasa perlu memperbaiki karena jalan itu memang satu-satunya akses keluar-masuk kampung kami,” ucapnya.
Selama ini, kata Suroso, jalan itu sudah diperbaiki, dan ditinggikan empat kali. Sejak dahulu memang bukan jalan aspal. Hanya jalan tanah selebar 4 meter. Menghubungkan Simonet dengan Desa Depok, Kecamatan Siwalan.
Dari dahulu, lanjut Suroso, memang tidak ada akses darat untuk menuju ke Wonokerto. Padahal Simonet masih wilayah Kecamatan Wonokerto. Akses ke kecamatan itu hanya bisa dilalui dengan perahu lewat muara.
“Sampai-sampai warga merasa terkucilkan dari Wonokerto,” kata pria berambut gondrong dan berkulit hitam ini.
Satu-satunya akses keluar-masuk itu pernah terputus pada Juni 2020. Ketika itu, abrasi luar biasa terjadi di Simonet. Ombak masuk ke permukiman. Jalan itu tertutup air laut, dan rusak.
“Jadi, kami pernah benar-benar terpisah dengan daratan. Seperti tinggal di pulau,” ucap Suroso disusul dengan tawanya.
Saat itu, kata Suroso, beberapa hari anak-anak tidak bisa sekolah. Ibu-ibu tidak bisa belanja. “Intinya, kami tidak bisa keluar. Sedangkan sekolah, pasar, semuanya ada di luar sana,” ujar dia.
Tak heran jika kini jalan itu lebih mirip seperti jembatan. Kanan-kirinya air laut. Langsung berbatasan dengan laut. “Dahulu ya jalan daratan, air laut belum sampai sini,” bebernya.
Cerita Suroso harus berhenti karena waktu makin mendekati pukul 12.00. Suroso kembali ke rumah. Wartawan koran ini menyeberang ke Kecamatan Wonokerto.
Usai salat Jumat, kerja bakti dilanjutkan. Warga berduyun kembali ke lokasi. Langsung mengambil peran mereka masing-masing. Wartawan koran ini bersama Suroso memasang bilah-bilah bambu. Warga sekitar menyebutnya ‘sasak’.
“Ini kan jalan sudah diurug dan dipasangi karung berisi pasir. Nah, nanti di atasnya ditutup sasak ini,” jelas Suroso.
Sasak untuk memperkuat tekanan. Sebab, kata Suroso, pengalaman perbaikan sebelumnya karung pasir mudah robek jika tidak ditutup sasak. “Karena langsung kena ban motor dan sepeda. Kalau ditutup sasak ini, insya’Allah aman,” tuturnya.
Panjang jalan itu menurut perkiraan Suroso 120 meter. Sementara lebarnya sekitar 1,5 meter. “Yang penting cukup untuk lewat motor dan sepeda,” ucapnya.
Suroso, sebagaimana warga yang lain, berharap perbaikan ini adalah yang terakhir. Perbaikan ini, kata Suroso, menggunakan dana pribadi keluarga besarnya. Bukan dana dari pemerintah.
“Bismillah, semoga jalan ini tidak rusak lagi, dan tetap bisa dilalui sampai nanti kami direlokasi,” harapnya. (*/aro)