RADARSEMARANG.COM, Sengketa tanah di Kota Semarang kembali terjadi. Kali ini, puluhan warga Karangjangkang, Ngamplak Simongan, Semarang Barat, terancam tergusur dari kampungnya. Lahan yang mereka tempati hampir 20 tahun diklaim milik seorang oknum.

WAJAH Sudarto, 55, terlihat sedih. Warga RW 04 Karangjangkang, Kelurahan Ngemplak Simongan, Semarang Barat ini memandang kosong ke arah kampungnya. Tak lama lagi, ia dan puluhan warga lainnya harus hengkang dari kampung ini. Surat Peringatan Kedua (SP2) dari Dinas Tata Ruang (Distaru) Kota Semarang sudah diterima warga. Peringatan tersebut dilayangkan lantaran warga tidak memiliki bukti sertifikat hak milik (SHM) maupun Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Sudarto mengatakan, rata-rata warga sudah tinggal di kampung ini selama kurang lebih 20 tahun. Ia mengetahui tanah yang ditempati warga adalah tanah negara. Namun tiba-tiba muncul klaim kepemilikan dari seorang oknum. Praktis, warga terancam digusur. Hampir setiap malam kini warga dicekam ketakutan. Tidak bisa dibayangkan jika alat-alat berat meruntuhkan rumah mereka. Tidak tahu juga bakal tinggal di mana. “Kalau malam nggak bisa tidur. Pada nangis, takut,” ujar Sudarto kepada RADARSEMARANG.COM.
Ia menceritakan, pada 1995, masa Hak Guna Bangunan (HGB) tanah tersebut telah berakhir, dan tidak diperpanjang. Hal ini telah dibenarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Artinya, tanah ini sudah kembali lagi menjadi milik negara sejak masa berlakunya hak tersebut berakhir. Lalu, pada 1996, ia bersama warga membeli tanah tersebut dari penggarap. Tanah miliknya berukuran 6×10 meter persegi dengan harga Rp 6 juta.
“Sebelumnya tanah sini berupa tebing yang bersisi padas. Digali penggarap untuk dijual. Kami diberi tanda bukti pembelian, ada segel dan kuitansinya,” beber Sudarto.
Pada 2005, sekitar 70-an Kepala Keluarga (KK) mendatangi Kelurahan Ngemplak Simongan untuk meminta surat keterangan bahwa tanah tersebut tidak dalam sengketa. Hal ini dilakukan sebagai supaya agar bisa mengajukan sertifikat hak milik. Mereka pun membawa bukti pembelian tanah. Hanya saja, pihak kelurahan tidak merespon. Sebab, tanah tersebut diklaim ada yang memiliki. Namun legalitas formal tidak ada. Pihak yang mengklaim tidak bisa menunjukkan bukti.
Kemudian pada 2011 lalu, kasus klaim tanah muncul lagi. Ketika itu, tanah yang ditempati warga diklaim oleh seorang oknum. Padahal oknum tersebut tidak bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan atas tanah tersebut. Bahkan, kasus ini pernah menang di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, bahkan tingkat Mahkamah Agung.
“Dari putusan itu, ada satu sertifikat warga yang akan diterbitkan. Itu artinya, kita juga punya hak yang sama, bisa diterbitkan juga,” katanya.
Dalam upaya kejelasan sertifikat, warga telah meminta pemutihan sertifikat ke BPN Kota Semarang. Namun belum juga mendapat respon. Kendati demikian, apabila ada oknum yang mengklaim tanah tersebut, dan bisa menunjukkan sertifikat warga juga akan bersikap legawa.
Masalah terus belanjut. Terkait IMB ini, 64 warga yang mendapatkan bantuan hukum gratis dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Mawar Saron sejak 2011 mendapatkan Surat Peringatan (SP1) dari Distaru pada 25 Februari lalu. Dianggap tidak mengindahkan SP1, warga kembali menerima SP2 pada Kamis (18/3) lalu.
“Distaru memberikan waktu 7 hari terhitung sejak diterimanya SP2. Apabila dalam tenggang waktu tersebut warga Karangjangkang tidak melakukan SP2, maka Distaru akan menerbitkan Surat Perintah Pembatasan Pembangunan (SP3) disertai dengan Rekomendasi Penyegelan,” ujar Ketua Tim LBH Mawar Saron Tommy Sinaga.
Khawatir tempat tinggalnya dibongkar paksa, warga Karangjangkang mengadukan nasib serta memohon perlindungan ke DPRD Kota Semarang, Selasa (23/3) lalu. Mereka didampingi kuasa hukum, diterima salah satu anggota DPRD Kota Semarang. Warga berharap ada perlindungan dari wakil rakyat. Sebab, mereka telah menempati tanah tersebut selama puluhan tahun.
Sebelumnya, lanjut Tommy, warga telah meminta perlindungan kepada Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi. Mereka berharap pemerintah dalam menegakkan Peraturan Daerah (Perda) dapat mengedepankan norma hukum. “Kiranya juga memperhatikan norma social, dan kemanusiaan, serta menggunakan hati nurani dalam mengambil kebijakan yang juga dijamin dalam Undang-Undang Dasar kita,” ujar Tommy.(*/aro)