RADARSEMARANG.COM – Bergaji puluhan juta rupiah saat menjadi pelaut, R CM Kartika Adi Nugroho mampu manjakan istri dan dua anaknya. Sayangnya hal itu tidak dirasakan lama. Kecelakan pada 2017 meremukkan tulang paha kanannya. Kehidupan pun berubah seketika. Hanya mengandalkan pendapatan Rp 50 per hari. Itupun harus tertatih-tatih. Didapatkan dengan susah payah.
Rumah R CM Kartika Adi Nugroho hanya 50 meter dari Kantor Dinas Sosial Kota Magelang. Tepat di jalan menurun, langsung belok kiri. Masuk gapura bercat merah. “Makasih Mbak sudah datang, kami senang ada yang main ke rumah,” begitulah sambutan hangat Tiko –sapaan akrabnya–ketika menerima wartawan koran ini bertamu.
Ia sangat ramah. Istrinya, Catarina Nining Linggardini menyusul keluar. Masih pakai celemek berwarna hijau botol. Mempersilakan wartawan koran ini masuk tanpa lepas sepatu. Niatnya ingin mengistimewakan tamu. Tapi wartawan koran ini tetap melepas sepatu biru yang dikenakan untuk liputan. Ingin menghargai. Juga lebih sopan.
Ririn—panggilan Catarina Nining Linggardini langsung membuka obrolan. Dia sangat renyah. Katanya bekas marketing. Cocok. Perempuan 45 tahun ini komunikatif. Tapi saat ditanya kapan tanggal lahirnya, Ririn mesem. “Tanggal lahir saya dan suami sama lho, 10 November 1976, hahaha, pasti nggak percaya kan mbak?” tuturnya dengan ekspresi geli.
Dia pun mulai membagikan cerita. Bahkan masih tidak menyangka sekarang menjadi pengusaha sambal kemasan. Kata dia, ide jualan sambal berawal dari faktor kepepet. “Sepertinya semua orang gigih merintis usaha itu berawal dari kepepet ya, hahaha,” celetuknya.
Ririn masih ingat zaman susah. Tepatnya tiga tahun lalu. Suaminya berhenti melaut, setelah mengalami kecelakaan. Tabungan terkuras habis untuk membiayai pengobatan lanjutan. Padahal anak pertamanya, Alfonsos Albi Wahyu Putra Perdana, akan berangkat berlayar. Anak keduanya, Matthew Abel Raditya masih sekolah dasar. “Kita sempat zero penghasilan,” kata Ririn.
Ia memutuskan bekerja di dapur umum tempat di mana anaknya sekolah. Bayarannya Rp 30 per hari. Sementara suaminya, mencoba peruntungan jualan es lilin. Disetor ke warung-warung. Kalau semua habis, untung Rp 20 ribu. “Hampir setengah tahun, penghasilan kita segitu, lama-lama tetap nggak cukup,” ungkapnya.
Suatu ketika, Tiko iseng jalan-jalan di sekitar tempat sekolah anak. Yang sekaligus menjadi tempat bekerja istrinya. Ada kantor Dinas Kesehatan (Dinkes) Kota Magelang. Dia nekat masuk. Iseng cari informasi. Dapatlah kabar bisa mengurus perizinan Produksi Pangan Industri Rumah Tangga (PIRT) gratis. “Masih ada kuota. Syaratnya, dalam satu minggu harus bisa ngasih sampel produk makanan yang dijual,” ujarnya menunjukkan raut muka kaget.
Sampai rumah, Tiko mengajak istrinya berdiskusi. Kira-kira makanan jenis apa yang akan dibuat. Pemikiran dia dan istrinya simpel. Bikin sambal. “Pelaut itu yang dikangeni dua. Selain keluarga, ya sambal, hahaha,” kata Tiko terkekeh.
Ririn pun menimpali cerita dibalik kenekatan mereka membuat sambal. Makanan olahan berbahan baku cabai ini adalah makanan favorit Tiko. Setiap hendak berangkat melaut, ia selalu membuatkan sambal untuk di makan di kapal. “Lagi pula, orang Indonesia itu memang nggak jauh-jauh dari sambal. Kayaknya usaha ini cocok,” imbuh Ririn.
Tiko kembali menyambung obrolan. Satu sampel sambal dalam kemasan botol ia bawa ke Dinkes. Di sana mendapat respon baik. Langsung bersemangat mengembangkan usaha tersebut. Modalnya Rp 300 ribu. Cukup untuk membeli 1.000 botol kosong, dan Rp 100 ribu untuk belanja bahan.
Ia pun mencanangkan, 15 Desember 2017 adalah sejarah awal produk Sambal Mbak Ririn ini dibuat. Adalah tanggal di mana anak bungsunya berulang tahun. Tapi tidak bisa merayakan, karena kondisi minim. “Kita merayakan ulang tahun itu dengan semangat baru, kita harus berubah,” tandas Tiko yang kini menjadi binaan Bank Indonesia.
Sejak itulah, Tiko merasakan semua jalan mencari rezeki dimudahkan. Ia langsung mendapat kesempatan pengurusan sertifikat Halal secara gratis. Diikutkan pameran oleh Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag). “Dua tahun saya serius branding,” imbuhnya.
Tiko berbagi tugas. Ia memasarkan produk secara online, dan tim icip-icip sambal. Sedangkan istrinya, berjualan secara konvensional, serta juru resep sambal. “Istri saya ada maag, cuma bisa bikin sambal saja, tapi nggak bisa makan pedas, sakit perut. Finishing-nya tetap saya, hahaha,” ungkapnya.
Menurut Tiko, berjualan online memang tidak butuh mental besar. Tapi jualan konvensional, lebih banyak tantangan. Ririn langsung menyahut. “Diusir kerep (sering). Tiap hari, tas itu selalu penuh sambal,” ujarnya dengan nada sedikit lirih, punggungnya membungkuk.
Ia langsung memandang wajah istrinya, yang sedang mengingat masa lalu kelam. Saat dirinya tidak dapat membantu banyak, karena kesulitan berjalan. Namun istrinya setia, dan sabar menjalani kehidupan. “Waktu itu, kita menargetkan bisa menjual 10 botol dalam sehari. Pokoknya harus terjual segitu, dengan pendapatan Rp 200 ribu,” tutur Tiko.
Sampai dia dan istrinya membuat daftar nama-nama teman yang belum diprospek. Untuk membeli sambal buatannya seharga Rp 20 ribu. “Pernah ada yang nawar sambal satu botol ini seharga Rp 3 ribu,” ujarnya sambil menghela nafas. Untuk beli botol, dan bahannya saja tidak cukup.
Ririn mengakui, tiga tahun lalu ibarat dirinya mengalami kondisi Covid-19. Serba susah. “Jadi saat UMKM terpuruk karena pandemi Covid-19 seperti ini, kita sudah nggak kaget. Dulu, kami lebih berat,” kenangnya dengan mata sedikit berair.
Walaupun omzet dia selama pandemi tinggal 25 persen dari kondisi normal. Sebelum ada Covid-19, dia mampu memproduksi 100 botol setiap hari. Dibantu empat karyawannya. Tapi saat ini, hanya punya satu karyawan. “Semoga kondisi segera pulih,” harapnya.
Lalu bagaimana nasib usaha sambal saat cabai menyentuh harga tinggi? Dia mengaku masih punya untung. Berkat ketepatan dalam membuat harga awal dengan perhitungan ketika harga cabai melonjak. Kendalanya justru di sisi lain. Saat harga cabai mahal, ia tidak bisa memilih cabai-cabai “tua” di pedagang. Penyebabnya, petani sudah memanen cabai sebelum matang. Dia pun sempat berburu cabai sampai ke lereng Merapi. Hasilnya nol. Banyak petani cabai gagal panen. Cabai menjadi langka.
“Kalau cabai di pasaran masih muda-muda, akan mempengaruhi level pedas. Jadi rasa pedas itu berkurang bukan karena kami mengurangi resep, tapi karena cabainya masih muda,” tegasnya.
Lain halnya ketika harga cabai murah. Setok melimpah. Sambal buatannya pasti super pedas. “Tapi permintaan sambalnya menurun, karena kalau cabai murah biasanya banyak yang jual sambal dadakan,” ucapnya.
Kini, Ririn sudah membuat 13 varian sambal. Di antaranya, sambal ijo, terasi, iwak cumi, mangut ikan manyung, ikan layang, udang, petai, jengkol, dan sambal baby cumi paling laku. “Sambal kita tanpa pengawet buatan. Tapi bisa tahan sampai 2-3 bulan tergantung variannya,” ujarnya.
Kunci keawetan produk sambalnya adalah dari proses masak yang benar dan memenuhi standar. Ia juga mengandalkan minyak, gula, dan garam. Adapun keunggulan produknya, dibanding yang lain adalah tiap varian sambal punya rasa yang beda.
“Saya nggak punya bahan dasar sambal yang sama, yang asal main topping kalau mau variannya beda. Jadi, kita pastikan, tiap sambal punya rasa yang beda, karena resepnya berbeda,” akunya.
Dia punya tips supaya sambal yang sudah buka segel tetap awet. Konsumen harus menutup ratap tutup botol setelah dibuka. Menyimpannya di tempat kering, atau suhu udara dingin seperti di dalam kulkas. “Kalau mau ambil sambalnya lagi, harus pakai sendok kering dan baru. sambal kemasan seperti ini musuhnya cuma air, udara, dan bakteri,” tambah Ririn yang kini juga memproduksi cemilan Mukridi alias mujair krispi. (put/aro)