28.6 C
Semarang
Tuesday, 24 June 2025

Tanpa Kreativitas dan Jaringan Luas, Jatuh Bangun selama 25 Tahun

Suka Duka Perajin Enceng Gondok di sekitar Rawa Pening

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Tanaman enceng gondok yang tumbuh lebat di Rawa Pening, tak semua orang bisa memanfaatkannya. Namun dengan tangan dingin Budiman dan jaringan serta kreativitas Firman Setyaji, bisa melakukan ekspor hingag Itali.

TITIS ANIS FAUZIYAH/RADARSEMARANG.COM TELITI : Perajin enceng gondok, Budiman, sedang menekan batang pohon untuk disulap menjadi lembaran datar dengan mesin press di rumahnya, Jumat (13/3). (Kanan) beragam hasil kerajinan enceng gondok yang sangat unik
Beragam hasil kerajinan enceng gondok yang sangat unik. (TITIS ANIS FAUZIYAH/RADARSEMARANG.COM)

Danau Rawa Pening terbentang di pinggiran Kabupaten Semarang. Dari Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang hingga Banyubiru. Danau seluas 2.670 hektare itu dapat dijumpai saat pengendara bepergian di Jalan Solo-Semarang. Selain identik dengan legenda Baru Klinting, enceng gondok tumbuh di sepanjang tepi danau tersebut.

Pada tahun 1980 warga sekitar memanfaatkan tanaman gulma itu untuk dijual ke kota besar sebagai bahan dasar kerajinan. Tingginya permintaan dari luar kota, membuat warga sekitar berbondong-bondong menjadi petani enceng gondok. Budiman salah satunya. Tepatnya menjelang tahun 1995.

Budiman semula hanya menjual enceng gondok, tanpa tahu kegunaannya. Didera rasa penasaran. Untuk apa para pengusaha luar kota itu mencari enceng gondok hingga puluhan ton. Budiman pun menelisik hingga ke Jogjakarta dan Cirebon. Barulah ia mendapati, hasil tani enceng gondoknya disulap menjadi kerajinan dan perabotan cantik. Saat itu, muncul gagasan untuk mempelajari pembuatan kerajinan.
Ia pun belajar memproduksi perabotan rumah seperti kursi dan meja. “Kenapa saya harus susah-susah mencari enceng gondok saja, kalau ternyata bisa dibuat kerajinan yang lebih bernilai,” ungkapnya sembari menggilas batang enceng gondok kering dengan mesin press menjadi lembaran tipis siap anyam.

Rumahnya yang terletak di Dusun Kelurahan sempat membuat koran ini bingung. Pasalnya, saat bertanya kepada warga, tak seorang pun yang mengenal nama Budiman. Padahal, tinggalnya di sekitar kantor kelurahan. Rupanya Kelurahan itu sebuah nama dusun. Tak begitu jauh dari jalan raya, namun tempat tinggalnya diapit kawasan persawahan dan rawa.

Pria kelahiran 1964 ini tergolong perajin yang mengawali produksi kerajinan di kawasan tersebut. Bahkan, saat ini ia satu-satunya yang masih bertahan. Perjalanan menjadi perajin, cukup berliku. Untuk menjual hasil karyanya, ia merasakan tak mudah. Sekitar awal 2000-an, Budiman sempat ditipu pembeli furniture. Pesanan yang sudah digarap ditinggal kabur. Dia memutuskan untuk beralih produksi perkakas home decor seperti tas, sandal, dan tempat tisu yang lebih minim risiko.

Meski demikian, ia tetap memproduksi furniture bila ada pesanan dari perusahaan besar. Beberapa kali Budiman dipanggil ke Sumatera untuk membuat set kursi dan meja kantor. Bahkan saat ini dia dipanggil ke luar pulau untuk mengisi pelatihan sebagai praktisi perajin enceng gondok. Pengalamannya yang melegenda telah cukup terbukti.

“Banyak orang luar Jawa yang tinggal di sekitar Rawa Pening punya masalah serupa. Mereka bingung bagaimana mengatasinya. Akhirnya, setelah tahu enceng gondok punya nilai jual setelah diolah jadi kerajinan, mereka mencari guru untuk belajar,” paparnya kepada RADARSEMARANG.COM.

Tahun demi tahun berlalu. Pada 2010, Budiman mengetuai Paguyuban Pengrajin Enceng Gondok. Kala itu ia membawahi enam kelompok yang masing-masing terdiri atas 13 perajin. Karena kurangnya inovasi dalam produksi dan bisnis, penjualan menurun. Satu demi satu mundur dan berhenti, lantaran kerajinan yang dihasilkan tak dapat memenuhi kebutuhan hidup.

Budiman pun sama. Ia banting setir menjadi buruh untuk menghidupi keluarganya. Kendati begitu, kerajinan enceng gondok tetap dia kerjakan di waktu malam untuk penghasilan tambahan. Tapi ia mengaku tak pernah bosan berkutat dengan lembaran enceng gondok kering.

Hingga akhirnya, tahun 2019 Budiman dipertemukan dengan pendiri usaha Bengok Craft, Firman Setyaji. Motto hidup Aji “Make your dreams come true. Make it happen with creativity,” sangat cocok dengan kepribadian Budiman. Kolaborasi dan kerjasama mereka berbuah manis.

“Setelah kerja sama dengan Mas Aji saya sering dapat permintaan desain yang unik dan tak pernah terpikirkan untuk saya buat sebelumnya. Ini menjadi tantangan tersendiri bagi saya. Saya jadi merasa belajar lagi, dan saya suka itu,” jelas Budiman.

Setelah 25 tahun lebih menjadi perajin enceng gondok dan merasa stagnan tidak berkembang dalam produksi kerajinan, kini Budiman merasa hidup kembali. Jiwa seniman sejatinya tersalurkan dengan baik. Setelah menggarap desain unik dan beragam. Ia memperoleh kepuasan tersendiri saat bisa merealisasikan desain sesuai keinginannya. Topi, totebag, keranjang, box, gelang, vas binga, kaos dengan berbagai model pernah dibuatnya.

Aji memang visioner. Pangsa pasarnya dari kelas ekonomi menengah hingga ke atas. Ia juga melakukan berbagai upaya riset memasuki pasar global. Banting setir dari jurusan kriminologi di universitas nomor satu di Indonesia, ia terpanggil untuk mengembangkan potensi desa dan membawa produksi yang sarat kearifan lokal ke ranah global.

Keseriusan Aji diawali dengan mengadakan pelatihan kerajinan enceng gondok gratis untuk warga sekitar. Kurang lebih 30 orang hadir mengikuti workshop. Dari sana ia mencari perajin yang berpotensi, telaten, dan mau berkolaborasi. Hingga akhirnya menggandeng sebanyak 15 perajin yang tersebar di beberapa dusun, termasuk salah satunya Budiman.

Saat dihubungi koran RADARSEMARANG.COM (11/3/2021), Aji dan timnya sedang menghadiri pameran UMKM di Hotel Novotel. Bisnis yang lahir dari Be Craft itu pernah mengikuti pameran International Handicraft Trade Fair (INACRAFT). Saat notebook laku dibeli Jokowi, Aji merasa lebih semangat untuk mengembangkan usahanya. “Saya menerima banyak masukan saat merintis, dan itu sangat membantu,” jelasnya.

Aji melakukan riset problem dari usaha kerajinan enceng gondok yang berlangsung selama ini. Mulai dari masalah sumber daya perajin, keberlanjutan produksi, dan masalah inovasi produk.

“Yang telah terjadi, perajin banyak yang berhenti. Produksi juga musiman dan tidak konsisten. Lalu jarang ada inovasi produk baru. Jadi ya itu-itu saja yang biasa dibuat perajin,” imbuh Aji.
Untuk menunjukkan nilai yang dimiliki enceng gondok atau yang disebut bengok, Aji menjembatani kebutuhan fashion dan home décor. Keduanya terus dicari oleh pembeli khususnya di kalangan milenial. Karena tren fashion kerap berubah. Masa pandemi Covid-19 juga memunculkan tren baru untuk dekorasi rumah lantaran masyarakat tidak bebas bepergian dan lebih banyak menghabiskan waktu di rumah. “Sekarang orang pengen tampil beda. Nah produk bengok ini kan unik, menarik, dan natural,” tegasnya.

Setelah cukup berhasil menangani masalah SDM dan pemasaran di tahun sebelumnya, tahun ketiga ini fokus untuk scale up atau pengembangan perusahaan. Salah satunya dengan menitipkan produk kerajinannya di hotel, kafe, dan restoran sekitar.

Keberlanjutan produksi pun diimbangi dengan inovasi. Market place dan media sosial Bengok Craft konsisten membagi konten produk yang up to date. Setiap bulan, pihaknya rutin mengeluarkan desain produk baru dengan jumlah terbatas. Hal tersebut yang membuat Budiman senang bekerjasama dengan Aji. Perajin dapat terus belajar dan berinovasi dengan desain baru.

Bahkan akhir tahun lalu, Bengok berhasil melakukan ekspor produk pertama ke luar negeri. Sebanyak empat buah boks berukuran sedang dikirim ke Itali. Pelatihan yang diperoleh dari Kemetrian Dagang (Kemendag) 2020 lalu terbukti tak sia-sia.

Berbagai pameran yang diikuti Aji kerap mendatangkan turis-turis manca negara ke rumahnya. Mereka penasaran dengan produksi kerajinan dan ingin melihat langsung. Tak jarang Aji membawa turis tersebut ke rumah Budiman. Warga sekitarnya sudah tak heran bila ada bule datang, pasti berkunjung ke rumahnya.

“Ilmu saya memang hanya enceng gondok. Tapi orang-orang datang dari jauh sangat menghargainya,” terang Budiman saat menceritakan bule-bule dan pengunjung yang datang ke rumahnya.

Aji melihat peluang dari minat kerajinan yang meningkat. Orang tak hanya ingin beli, tapi ingin mengetahui proses produksi. Dia pun mengizinkan kunjungan dari komunitas dan sekolah sekitar. Kemudian terpikirkan olehnya untuk membuat kelas kreasi. Selain melihat produksi, ia juga ingin membuka ruang tumbuh kembang masyarakat dengan workshop yang dikemas seru dan menarik.

Istrinya, Asta yang juga bagian dari tim Bengok Craft merespon baik rencana Aji. “Dengan kelas itu, nantinya bisa menjadi alternative sumber pendapatan selain dari penjualan produk. Jadi seterusnya kami tetap bisa menghidupi perajin dengan layak,” tuturnya.

Transaksi penjualan yang tercatat sekitar 30-40 per bulan. Rata-rata omzetnya sekitar belasan juta. Pernah sekali dalam sebulan Bengok memperoleh Rp 20 juta. Karena termotivasi, pada 2021 pihaknya menargetkan peningkatan sebanyak 50 persen dari omzet normal bulanan.

“Berkembang bersama produk lokal memang perlu proses dan memakan waktu. Tapi memiliki kebanggaan tersendiri. Sudah membantu warga sekitar, menarik minat wisata daerah juga,” tegas Aji. (cr1/ida)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya