RADARSEMARANG.COM – Tidak pernah membolos kegiatan Pramuka semasa sekolah, Dian Pratiwi mendapat berkahnya. Ia sukses menjadi perajin makrame. Sebuah kerajinan yang memainkan simpul tali.
“Aduh, sebetulnya saya belum pantas diliput, masih baru, hehehe,” celetuk Dian Pratiwi ketika bertemu wartawan RADARSEMARANG.COM.
Dia memang sedikit malu. Bermain makrame belum lama. Baru setahunan. Tapi karyanya bagus. Banyak diminati orang.
“Saya belajar otodidak, nggak tahu teorinya, tapi bisa bikin,” akunya sambil mesem.
Pagi itu, Dian juga masih sibuk merapikan tanaman hias yang ditaruh rak kayu. Di sebuah teras yang tidak begitu longgar. Ukurannya sekitar 1,5 meter x 2 meter. Tanaman-tanaman itu untuk menghijaukan halaman rumahnya. Kadang dipakai untuk contoh makrame model gantungan pot.
Dia pun mempersilakan wartawan koran ini masuk rumahnya. Ruang tamu rumahnya sudah disulap menjadi studio foto, menyatu dengan ruang tengah. Tempat di mana Dian mengerjakan pesanan-pesanan makrame.
“Kalau ini (studio foto, Red) punya suami saya, Mas Aris. Saya biasanya di sini,” tuturnya sambil menunjuk beberapa karyanya yang terpajang di dinding.
Ibu satu anak ini mulai membagikan cerita. Bermula dari sebuah video Youtube yang muncul di beranda akun Youtube-nya. Ia klik. Langsung ditonton sampai habis. “Saya kok tertarik, dan dalam hati, yakin kalau aku bisa,” aku ibu dari Bintani Dhatu Mazea ini.
Sesekali Dian merapikan jilbab biru dongker yang ia padukan dengan gamis berwarna nude. Kemudian melanjutkan ceritanya. Usai melihat video tutorial membuat makrame, ia ingat pelajaran tali temali saat Pramuka. Yang dipelajari saat SD dan SMP.
“Saya udah bisa menguasai simpul itu, inget kalau dulu diajari saat Pramuka,” ungkapnya dengan mimik muka serius.
Ia pun menghubungi adik iparnya yang bekerja di perajangan tembakau. Biasanya ada tali pramuka yang dipakai untuk mengikat tembakau dengan keranjang.
“Saya openi (ambil) sisa tali itu, saya bawa pulang, malam-malam saya coba bikin makrame, jadi deh,” ucapnya senang.
Karya pertama hasilnya lumayan. Talinya sedikit kotor, dan kurang “cantik” untuk sebuah karya yang dipajang. Ia coba menggunaan tali pramuka yang masih baru. Tetap saja kurang sedap dipandang. Perempuan kelahiran Magelang pada 1991 ini berselancar ke internet. Mencari informasi tali yang cocok untuk membuat makrame. “Ketemu. Ternyata pakai tali katun,” ungkap warga Nuren, Purwosari, Tegalrejo, Kabupaten Magelang ini.
Makrame memang dibuat dari bahan kain berserat. Beberapa tali disatukan dengan sebuah simpul. Sampai menghasilkan karya tangan yang bernilai seni. Selain keunikannya pada pola anyaman, makrame juga khas dengan rumbai-rumbai.
Tapi, karena tidak belajar teori membuat kerajinan makrame, karyanya monoton. Ia terkendala dengan satu simpul yang menurutnya sulit. Namanya simpul tunggal. “Sampai stres, sempat mogok bikin makrame, hehehe.”
Dia kembali mencari referensi dan belajar. Berguru pada orang yang menginspirasinya dalam berkarya. Adalah Hala. Seorang perajin makrame hebat asal Tangerang. Perempuan itu meladeni direct massages (DM) di Instagram.
“Saya juga tanya gimana cara membungkus makrame biar aman sampai ke tangan konsumen lewat jasa pengiriman. Dikasih tahu sama dia, digulung pake kertas roti, terus dilakban,” bebernya.
Dian terus mengasah keterampilannya. Ia mahir memainkan semua simpul. Ada simpul kepala, simpul tunggal, simpul rantai, simpul gordin, simpul mati, dan simpul ganda. Memuaskan. Karyanya lebih variatif. “Sekarang sudah bisa bikin yang macem-macem,” tuturnya.
Apalagi fungsi makrame saat ini tidak terbatas untuk hiasan dinding. Lebih dari itu mendukung dekorasi ruangan. Baik di dalam, maupun di luar ruangan. Misalnya, untuk telapak meja, sarung bantal kursi, menghias toples, gantungan pot tanaman, tirai, backdrop pernikahan, rompi, dan sebagainya. “Ayunan bayi juga bisa loh dari makrame,” sebutnya.
Perkembangan dekorasi ruangan memang menguntungkan para perajin seperti dirinya. Bukan saja lebih tertantang membuat karya jenis baru, tapi meningkatkan nilai jual sebuah produk. Ini mempengaruhi omzetnya.
“Senang banget, akhirnya keinginan saya menjadi ibu rumah tangga yang punya penghasilan terwujud,” ujarnya bersemangat.
Tapi menjalankan bisnis kerajinan harus sabar. Butuh tiga bulan ia bisa mendapat konsumen pertama. Ia masih ingat, pesanan dari orang Dukun, Kabupaten Magelang di lereng Gunung Merapi. “Minta talinya kombinasi putih dan pink, saya antar sampai rumahnya. Pulang-pulang saya dibawain sayur sak bagor, hahahaha,” ceritanya geli mengingat pengalaman pertama cash on delivery dengan konsumennya itu.
Sekarang, ia sedikit kewalahan mengerjakan pesanan konsumen. Pelanggannya harus mengantre. Setidaknya satu atau dua minggu pesanan baru jadi. “Karena pesanan-pesanan ini saya kerjakan sendiri, tidak ada yang membantu,” imbuhnya.
Ia mengaku bisa menyelesaikan satu pesanan antara satu sampai dua hari tergantung tingkat kesulitan. “Kalau motifnya rumit, malah bisa empat harian baru selesai,” timpalnya.
Mengerjakan makrame juga melatih kesabarannya. Butuh ketelatenan agar hasilnya sesuai harapan. Pikiran tenang sudah pasti. Kalau buru-buru bisa salah simpul. “Kalau capek, matanya lelah, bisanya saya istirahat dulu. Nanti dilanjutkan lagi kalau sudah tenang.”
Rata-rata pelanggannya mau menunggu. Dirinya juga mendapat tawaran kerja sama dengan sebuah galeri di kawasan Borobudur. Kesempatan itu ia ambil. Melihat pesanan mulai ramai, ia berlatih mengelola keuangan. Ada arus kas. Berapa modal yang ia keluarkan, berapa untung yang ia dapatkan. Semua terinci “Jangan sampai rugi,” tegasnya.
Dian optimistis, usahanya akan semakin besar. Kelak ia ingin menjadi pelatih makrame di sebuah kegiatan yang dihadiri banyak orang. Ia ingin menularkan ilmunya. Agar semakin banyak perempuan yang produktif. “Kerjaan utama kita ngasuh anak, dan mengurus rumah. Tapi kita juga berhak berkarya, dan punya penghasilan sendiri,” katanya. (put/aro)