RADARSEMARANG.COM – Sejak lampau banyak warga Desa Kebonrejo, Kecamatan Candimulyo, Kabupaten Magelang, yang menjadi produsen gula kelapa cetak. Namun seiring berjalannya waktu, mereka beralih memproduksi gula semut. Alasannya, pasar lebih menjanjikan, bahkan diekspor sampai Jerman.
Susanti berusaha menjaga nyala api di tungku ketika RADARSEMARANG.COM datang ke dapurnya, Rabu (3/3/2021) siang lalu. Dia memasukkan kayu bakar baru. Menyambung kayu yang sudah terbakar lebih dari separo. Asap pun mengepul di dapur berukuran sekitar 5 meter x 2,5 meter itu. Sebelum akhirnya keluar dari ventilasi di bawah atap. Mata wartawan koran ini sampai pedih. Bajunya juga bau sangit.
Namun Susanti tampak biasa saja. Begitu urusan dengan perapian beres, tangan kananya meraih irus kayu. Kembali mengaduk nira kelapa yang volumenya sudah menyusut dalam wajan. Hari itu dia merebus tujuh toples nira yang dideres pamannya. Itulah pekerjaan sehari-hari Susanti, di samping aktivitasnya menjadi guru PAUD. Dia merebus nira saban dua hari sekali. Mengolahnya menjadi gula semut. Dia sudah melakoni ini bertahun-tahun.
Kata Susanti, yang paling lama dalam membuat gula semut adalah proses mengentalkan nira. Dia bisa memakan waktu hingga lima jam untuk merebus. Sesekali dia juga harus mengaduk sampai mengental. “Kalau mulai mengental dikasih santan untuk ngecek sudah bisa diangkat apa belum,” ujar Susanti kepada RADARSEMARANG.COM.
Berbeda dengan gula cetak, nira yang sudah mengental dibiarkan mengeras di wajan. Selanjutnya digerus. Susanti melakukannya secara manual. Memanfaatkan setengah bagian batok kelapa yang diameternya dipasang kayu sebagai pegangan. Begitu menjadi seperti serundeng, gula semut diayak dan disaring.
Susanti tidak sendiri. Dia menjadi bagian dari Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi Tani. Susanti dipercaya menjadi ketua, lantas menjadikan rumah produksinya sebagai warehouse. Kini, di Kebonrejo setidaknya ada 40 petani gula semut yang tergabung. Dari desa tetangga juga ada yang tergabung. Jika ditotal jumlahnya 60-an. Mereka memproduksi gula semut di rumah. Kemudian menyetorkan hasil produksi ke warehouse.
Gula semut hasil produksi KWT Srikandi Tani sudah merambah pasar internasional. Diekspor sampai Jerman. Pemasarannya dibantu perusahaan yang sejak awal menjadi mitra kerja. Saban dua minggu sekali, KWT Srikandi Tani pun mengirim setidaknya 1,5 ton gula semut ke sana.
Konsep yang dibangun adalah produksi gula semut secara organik. Proses produksinya pun harus sesuai SOP. Harus seratus persen alami. Setahun sekali juga akan diaudit perusahaan. Oleh karen itu, para petani dituntut menjaga kualitas.
“Dulu ada yang menggunakan sabun sebagai laru nira, tapi diedukasi untuk organik. Sekarang pakai kulit manggis,” kata perempuan paro baya ini.
Selain menjual ke pasar ekspor, KWT Srikandi Tani juga menjual secara mandiri untuk pasar lokal. Gula semut yang sudah jadi lantas dikemas dan diberi merek Gendis Rejo. Pemasarannya melalui marketplace dan menggunakan jasa reseller. “Yang dijual mandiri sebulan kira-kira dua kuintal,” ujarnya.
Pemberdayaan masyarakat melalui KWT ini pun sedikit banyak mengangkat ekonomi warga. Apalagi harga pasar gula semut lebih tinggi dan lebih stabil dibanding gula cetak. Ke depan, meski jumlah penderes di Kebonrejo berkurang, Susanti optimistis produksi gula semut KWT Srikandi Tani akan tetap berlanjut.
“Kalau berkurang sih iya, tapi pasti tetap ada yang masih mau menderes kelapa,” katanya optimistis. (rhy/aro)