RADARSEMARANG.COM – Biji salak tidak melulu menjadi limbah. Di tangan Achmad Ridwan, warga Magelang, biji salak diolah menjadi minuman. Dia menamainya Bukenza atau Bubuk kenthos salak.
Kreativitas Desa Ngablak, Kecamatan Srumbung, Kabupaten Magelang terkenal sebagai daerah penghasil salak. Mayoritas penduduk menggantungkan hidup pada sektor perkebunan salak. Baik sebagai petani, pedagang, maupun produsen olahan makanan berbahan salak, seperti dodol salak.
Banyaknya salak yang dihasilkan menyumbang limbah biji salak yang banyak pula. Oleh Ridwan, bagian salak yang biasa disebut kenthos itu lantas dibikin menjadi bahan minuman. Orang biasa menyebutnya kopi biji salak karena wujudnya mirip bubuk kopi pada umumnya.
Ridwan memulai usaha kreatif ini sejak awal 2019. Usai mendapati limbah kenthos yang dihasilkan dari kegiatan produksi olahan makanan dari salak di desanya. Ridwan lantas memutar otak agar limbah tersebut bisa dimanfaatkan.
“Ke perpustakaan desa mencari buku soal olahan biji salak, tapi tidak menemukan. Karena sudah ada sarana Wi-fi, akhirnya searching di internet dan menemukan ternyata di Jawa Timur sudah berkembang soal kopi biji salak,” ujar Ridwan kepada RADARSEMARANG.COM, Minggu (7/2/2021).
“Selain itu, belajar langsung ke Bu Sri, warga Sleman yang juga bikin berbagai olahan dari salak,” imbuh Ridwan.
Mulanya Ridwan membuat kopi biji salak secara manual. Pertama, biji salak dicuci dan dijemur di bawah sinar matahari. Bila musim panas, butuh waktu sekitar dua minggu. Sementara di musim hujan bisa sampai sebulan.
Setelah kering, biji salak disangrai. Selanjutnya, ditumbuk menggunakan alat penumbuk padi. Setelah itu, diayak dan disaring menggunakan penyaring lebih kecil agar menghasilkan bubuk paling halus.

Seiring berjalannya waktu, Ridwan menggunakan teknik yang lebih modern. Penjemuran yang semula dilakukan sederhana lantas dijemur dengan sistem green house. Yakni, menggunakan atap plastik UV tebal. Dengan plastik itu, ketika hujan biji salak tidak basah dan ketika panas bisa mengering. Pada awal 2020, Ridwan juga membeli mesin roasting, sehingga tidak lagi menyangrai menggunakan wajan.
“Dengan mesin itu kematangannya lebih merata. Kapasitasnya juga lebih banyak. Kalau pakai wajan cuma 1 sampai 1,5 kg. Dengan mesin, bisa sampai 25 kg dengan durasi 1 sampai 2 jam,” ujarnya.
Begitupun untuk proses grinding yang terdiri dari dua tahap, yakni grinding kasar dan grinding halus. Grinding kasar dilakukan dengan proses pemecahan menggunakan mesin penggiling daging. Sementara grinding halus dilakukan untuk pelembutan menggunakan mesin penepung.
Ridwan mengemas kopi biji salaknya menjadi dua ukuran, 80 gram, dan 200 gram. Kopi biji salak ukuran 80 gram dihargai Rp 10 ribu. Sementara ukuran 200 gram dibanderol Rp 20 ribu. Harga tersebut dia patok kepada reseller yang banyak membantu pemasaran produknya.
Ridwan memasarkan produknya dari mulut ke mulut. Mulanya dia mengaku kesulitan karena produknya tergolong hal baru. Pria yang menjabat sebagai Perangkat Desa Ngablak ini pun mencoba menyebar tester, dan memperkenalkan ke teman-temannya. Pemasaran Bukenza juga tidak terlepas dari Perpustakaan Desa Ngablak yang menjadi juara dua tingkat nasioal. Banyaknya tamu yang datang untuk studi banding mendorong permintaan Bukenza.
“Kalau kita cari informasinya, ada banyak manfaat dari kopi biji salak. Seperti bisa menurunkan tekanan darah tinggi. Jadi, pantangannya ya cuma untuk orang darah rendah,” kata Ridwan.
Akan tetapi, selama pandemi Covid-19, permintaan Bukenza menurun. Sebelum pandemi, Ridwan bisa memproduksi kopi sebulan sekali dengan kapasitas 25 kg hingga 30 kg. Dalam setahun, dia bisa mengantongi omzet sekitar Rp 15 juta.
“Pas pandemi, kemarin cuma produksi tiga kali. Tapi ya Alhamdulillah, meski menurun kami masih tetap bertahan. Stok juga tetap disediakan agar sudah siap kalau ada pesanan,” ujarnya. (rhy/aro)