RADARSEMARANG.COM – Bambu ampel biasanya digunakan sebagai kayu bakar. Namun di tangan Kisnadi, bambu ampel bisa disulap menjadi produk kerajinan. Dia membuat bolpoin bambu dan memasarkannya hingga ke luar Pulau Jawa.
Dusun Cakran, Desa Kebonsari, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang menjadi kampung sentra kerajinan bambu. Ada banyak perajin di sana. Salah satu yang masih bertahan adalah Kisnadi.
Kisnadi terjun di dunia kerajinan bambu sejak 2006. Lebih tepatnya sejak lulus STM (SMK). Saat itu, dia mengaku enggan bekerja ikut orang lain.
Ide brilian muncul di kepalanya. Berangkat dari keberadaan bambu ampel yang mudah didapat, Kisnadi ingin membuat karya. Dia lantas memutuskan membuat bolpoin bambu.
Untuk membuat bolpoin bambu, Kisnadi membutuhkan ruas bambu ampel sebagai badan. Selebihnya, dia membutuhkan ranting sebagai wadah tinta. Dia mengerjakannya secara manual. Kecuali tutup bolpoin berbentuk kepala boneka yang dibikin dengan bantuan mesin bubut.
Agar menjadi bolpoin, ruas bambu ampel harus dipotong kecil-kecil. Kurang lebih 10 sentimeter. Selanjutnya, potongan-potongan bambu tersebut direbus sekitar satu jam. Tujuannya agar warna hijau bambu berubah menjadi putih. Setelah direbus, bambu dijemur di bawah sinar matahari. Lamanya paling tidak tiga hari.
Ketika selesai masa penjemuran, tahap selanjutnya adalah tahap perakitan. Ranting bambu kecil dimasukkan ke badan bolpoin, dan diisi tinta isi ulang. Untuk finishing dilakukan proses pewarnaan sederhana.
Sekitar sepuluh tahun berbisnis, Kisnadi menjual karyanya ke Malioboro, Jogjakarta. Biasanya dia memanfaatkan jasa broker. Namun, seiring berjalannya waktu, dia memilih memasarkan produknya sendiri. Belum lama ini dia berhasil menyasar pasar ke luar Pulau Jawa. Misalnya, Bali, Lombok, dan Flores.
“Produk saya dari dulu ya bolpoin ini. Inovasi yang saya lakukan adalah inovasi pemasaran. Semua orang bisa membuat, tapi tidak semua orang bisa mendapat pasar,” ujar Kisnadi kepada RADARSEMARANG.COM, Jumat (5/2/2021) siang.
Kisnadi memperoleh kenalan dari luar Pulau Jawa usai mendatangi acara festival kerajinan Inacraf di DKI Jakarta pada 2019. Saat itu, dia mendatangi stan-stan pengusaha dari wilayah Indonesia Timur. Dia memperoleh banyak kartu nama, yang kemudian dihubungi dan menjadi mitra kerjanya.
Di Bali, Kisnadi menyuplai produk kerajinannya ke 13 toko cinderamata. Di Lombok, dia menyuplai enam tempat. Sementarra di Flores dia mengantar kerajinan ke tiga tempat.
“Saya membangun mitra dan kepercayaan. Biasanya kalau mengirim barang dan sudah sampai, saya datang ke sana untuk bertemu pemiliknya,” tutur Kisnadi.
Kisnadi menjual bolpoin bambunya dengan harga murah. Bolpoin kecil dihargai Rp 5 ribu hingga Rp 7.500 per pak. Sementara bolpoin besar dihargai Rp 10 ribu per pak. Satu pak berisi lima buah bolpoin.
Dalam sebulan, Kisnadi bisa memproduksi rata-rata 10 ribu bolpoin. Biasanya satu tempat minta disuplai sebanyak 1000 pak. Untuk menggarap pesanan, Kisnadi memiliki 17 tenaga karyawan borongan. Namun sejak pandemi, dia mengerjakan sendiri.
“Setahun bisa dapat omzet kotor hingga Rp 600 juta. Dulu juga pernah kirim ke Malaysia dan Singapura. Tapi pesanan menurun karena pengiriman ke Bali terganggu. Cuma ya bersyukur masih jalan. Ini besok rencana mau kirim ke Flores,” katanya.
Selama belasan tahun menjadi perajin, Kisnadi tidak pernah memasarkan produknya secara daring. Baik melalui media sosial, maupun melalui e-commerce. Naluri bisnisnya berjalan sendiri. Memperkuat relasi menjadi kunci. Selebihnya tentang konsistensi. “Saya belajar otodidak. Saya cuma lulusan STM. Tapi dulu saya suka baca buku soal pemasaran. Saya suka pemasaran,” ujarnya. (rhy/aro)