RADARSEMARANG.COM –Jatmiko, perajin wayang kulit asal Kota Magelang tak mau berhenti berkarya. Sekalipun tidak ada pesanan. Ini terjadi saat awal pandemi Covid-19. Ia ingin kerajinan asli Indonesia yang memiliki nilai seni tinggi ini tidak “mati” digerus kondisi.
Tidak mudah bagi Jatmiko untuk bertahan di tengah ekonomi serbasulit. Ia menyadari, pandemi Covid-19 hampir melumpuhkan sendi-sendi kehidupan. Usahanya juga terdampak. Pelanggan enggan merogoh kocek untuk membeli karyanya. Dia memaklumi, lantaran wayang bukanlah kebutuhan pokok.
Yang ia lakukan adalah bertahan. Berhenti berkarya bukanlah solusi yang tepat. Ia berinisiatif membuat wayang Gunungan kreasi. Berbentuk kerucut atau segitiga. Dipermanis dengan lengkungan di kedua sisinya.
“Saya putuskan membuat ini, karena tidak ada antrean pesanan,” ujar Jatmiko, di rumahnya Kampung Jagoan 2, Kelurahan Jurangombo Utara, Kecamatan Magelang Selatan, Kota Magelang, Selasa (3/11).
Tetap beraktivitas membuat pikirannya hidup. Keterampilan terasah. Sekarang pesanan mulai berdatangan. Katanya, ini buah dari kesabaran. “Saya sedang menyelesaikan pesanan dari orang Magelang dan Temanggung,” katanya.
Menurut pria kelahiran 1971 ini, usaha kerajinan wayang sedikit berbeda dari industri kerajinan lain, yang bisa memproduksi secara masal. Wayang harus dikerjakan satu persatu. Memperhatikan detail bentuk dan pahatan. Ia tidak bisa memburu waktu. Dia berusaha bernegosiasi dengan konsumen, terkait lama pengerjaan pesanan.
“Pesan wayang itu memang melatih budaya antre dan sabar, heheh,” akunya.
Pembatasan pesanan dilakukan demi menjamin kualitas dan kepuasan pelanggan. Untuk menggarap satu wayang saja, bapak satu anak ini butuh waktu seminggu. Bahkan lebih. Semua itu tergantung kerumitan dan ukuran wayang.
Sedangkan harga, ditentukan dari tingkat kerumitan pahat, banyaknya bahan yang digunakan, kehalusan wayang, ukuran, dan pewarnaan. Ia membanderol Rp 500 ribu sampai lebih dari Rp 3 juta.
“Kalau prado pakai emas, harganya bisa lebih mahal. Tergantung berapa gram emas yang dipakai,” tuturnya.
Wayang dengan label Maharani Art miliknya ini sudah dibeli orang-orang dari berbagai daerah di nusantara. Ini berkat pemasaran yang memanfaatkan koneksi pertemanan dan secara online. Mereka adalah kalangan kolektor, dalang, dan masyarakat umum—pecinta seni wayang. “Ada yang pesan untuk pajangan,” katanya.
Tokoh pewayangan yang paling sering dipesan adalah Kresna, Semar, Anoman, dan Setyaki. Ia juga membuat wayang karakter hewan. “Semua bisa dikerjakan, tapi yang paling sulit mengerjakan Gunungan. Oranamennya sangat banyak,” tuturnya.
Kepuasan membuat wayang ketika karya itu jadi sesuai harapan. Pelanggan senang. Apalagi mengingat proses pengerjaan yang cukup “panjang”. Membutuhkan konsentrasi, ketengan hati dan pikiran, serta badan yang sehat.
“Dari bahan kulit kerbau yang saya beli dari orang Kabupaten Magelang, kemudian saya pola. Natah atau memahat, kemudian nyungging atau memberikan pewarnaan pada wayang. Terakhir memasang gapit atau tangkai pegangan wayang,” ujar Jatmiko membeberkan proses pembuatan wayang.
Jika pandangan mata sudah mulai kabur karena kelelahan, Jatmiko memilih berhenti. Ia istirahat sampai matanya kembali fokus. “Kalau dipaksakan, akan mempengaruhi hasil,” ucapnya.
Dirinya tidak ingin pelanggannya kecewa. Sebab, merintis usaha wayang kulit tidak mudah. Ia melalui proses yang lama sampai mendapatkan kepercayaan dari konsumen.
Dia bercerita, mulai mencintai kesenian wayang kulit sejak dia duduk di bangku Taman Kanak-kanak (TK). Setiap diajak ayahnya ke pasar, selalu minta dibelikan wayang. Ayahnya pun membelikan wayang kardus. Kebiasan seperti ini dilakukan sampai dirinya duduk di bangku SD. “Kalau nggak dibelikan wayang sama bapak, saya nangis, hahaha,” ucapnya tertawa mengingat masa kecilnya.
Selama menyelesaikan kewajiban belajar sembilan tahun, Jatmiko menjiplak wayang-wayang kardus koleksinya. Kertas apapun ia pakai untuk menggambar. Kemudian ia gunting. Dilubangi menggunakan benda-benda runcing. “Paling ingat kalau disuruh membuat prakarya, saya pasti buat wayang.”
Lain halnya saat duduk di SMP. Jatmiko memiliki pengalaman unik. Saat itu, guru kesenian meminta para siswa menggambar pemandangan. Hanya dia sendiri yang membuat wayang. Lalu ditegur oleh guru.
“Kok malah nggambar wayang to le, kancane podo nggambar pemandangan (Kenapa malah menggambar wayang nak, temannya pada menggambar pemandangan). Saya jawab, ini belum jadi pak. Setelah itu saya bikin background pemandangan. Tetap ada wayangnya. Guru saya geleng-geleng, ngasih jempol,” kenangnya.
Sejak itulah, Jatmiko semakin menyadari kecintaannya terhadap wayang. Sampai memutuskan menjadi perajin wayang di usia muda. Ia bersemangat membeli alat-alat ke Jogjakarta. Jatmiko mulai membuat karya nyata. Sekitar pertengahan 1992, ia menyambangi seorang seniman wayang asal Muntilan, Kabupaten Magelang.
“Saya merguru (belajar). Karya saya dikoreksi, waktu itu banyak yang salah. Semua saya perbaiki, sampai sekarang sudah hafal dengan bentuk-bentuk tokoh pewayangan,” tuturnya.
Ada perbedaan wayang kulit dengan wayang kardus. Jenis bahan yang digunakan memiliki kesulitan yang berbeda. Baginya, wayang kardus tidak bisa sedetail wayang kulit. Jarak lubang pahatan yang terlalu dekat, membuat kardus mudah sobek. Sedangkan wayang berbahan kulit kerbau lebih kuat. Pahatan bisa dibuat dengan jarak yang sangat dekat. Bahan ini juga lebih awet.
Mengingat perajin wayang kulit di Kota Magelang hanya dia satu-satunya, Jatmiko meminta pemerintah untuk memperhatikan kelestarian seni rupa dua dimensi ini. Kepada generasi muda, ia berharap ada yang tertarik menjadi perajin wayang kulit, serta melestarikan budaya lokal agar tidak punah. (put/aro)