30 C
Semarang
Sunday, 15 June 2025

Kreasikan Anyaman dari Batang Eceng Gondok

Fahrudin, Pandemi Covid-19 Tetap Produksi Sapu Unik

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Pandemi Covid-19 bukan berarti berhenti berinovasi. Fahrudin justru menciptakan sapu unik serta beragam hiasan dinding dari batang eceng gondok. Seperti apa?

Bengkel produksi sapu milik Fahrudin terlihat sederhana. Pintu kayu tanpa cat. Dindingnya masih semi anyaman bambu. Siapa sangka di dalamnya terdapat maha karya. Berjajar contoh sapu-sapu unik dan hiasan dinding.

Saat RADARSEMARANG.COM mengunjungi bengkel kerjanya, Fahrudin sedang sibuk menyelesaikan pesanan sapu jenis ceblok. Sapu jenis ini sudah umum dan biasa dibuat oleh perajin sapu lainnya di Kabupaten Magelang. Dinamakan ceblok, karena pengait rayung dengan gagang bambu hanya menggunakan paku. Di-ceblok atau ditusuk begitu saja dengan cara dipukul menggunakan palu. Lalu rayung diikat dengan tali rafia tampar agar rapi dan lebih kuat.

Udin –sapaan akrab Fahrudin– berbagi pengalaman menjadi perajin sapu. Sejak kelas 4 SD, ia sudah jadi buruh perajin sapu di kampungnya. Dusun Keprekan, Desa Bojong, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang. “Saat itu, sudah bisa dapat upah Rp 500 hehe,” kenangnya ditemui di bengkel produksinya yang berada di Dukuh Batikan, Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.

Uang itu bisa untuk menyambung hidup. Membantu orang tua, buat jajan, dan tambahan uang saku ke sekolah.

Setekah berkeluarga, Udin memutuskan jadi perajin sapu. Toh usaha ini juga dilakukan orang tuanya sampai sekarang. Namun jiwa seni mengalir pada diri pria 40 tahun ini. Udin bereksploarasi dengan batang tanaman eceng gondok yang dikeringkan. Ia mulai menganyam. Lalu mengikat dengan tali string warna hitam. Tepatnya, tiga tahun lalu, seorang pembeli menantang Udin membuat sapu unik.

“Kalau mau hubungan (kerja sama, Red) dengan saya, harus bikin yang beda,” ucap Udin menirukan perkataan salah satu pelanggannya itu.

Ia pun menyodorkan satu karyanya. Namun pelanggannya belum cukup puas. Memberikan selembar kertas. Ada gambar desain sapu. Ia pun bisa menerjemahkannya. “Saya buat, ternyata bisa. Saya namakan sapu-sapu ini adalah sapu klasik,” tutur pemilik usaha Fahrudin Sapu ini.
Selama membuat sapu klasik, ia tidak menemukan kesulitan. Model anyaman seperti apapun, bisa ia kerjakan. Hanya butuh waktu sekitar 30 menit sampai satu jam, dan ketenangan selama mengerjakan. “Kesulitan saya juga di pemasaran. Saya harap, pemerintah bisa bantu mempromosikan dan memfasilitasi pelatihan,” harapnya.

Meski begitu, produk sapu klasik buatannya sudah sampai ke Belanda dan Amerika melalui jasa perantara. Ia belum mendapat konsumen secara langsung. Hal ini mempengaruhi harga.

Selain sapu lantai, ia juga membuat sapu meja berukuran kecil dengan bentuk berbeda. Juga hiasan dinding seperti jam. Pengerjaannya membutuhkan waktu seharian.

Selama pandemi Covid-19, ia mengaku pesanannya menurun. Namun ia tetap produksi. Tidak menyetok barang banyak. Sekarang, pesanan mulai membaik. Di bengkel produksi Udin, koran ini juga bertemu perajin sapu lainnya yang sedang bertamu. Kegiatan saling berkunjung anatarperajin seperti ini masih membudaya antarwarga Kampung Keprekan. Hampir 92 persen warga Keprekan adalah perajin sapu. Mereka kompak, dan saling bekomunikasi.

Adalah Arif Hermawan. Pria 37 tahun ini juga merasakan permintaan sapu mulai “pulih”. Saat pandemi Covid-19, kegiatan sekolah diliburkan. Sejak itulah, pesanan alat kebersihan untuk sekolah mandeg. Saat Lebaran yang biasanya ramai, juga sepi.

“Dulu, saya bisa kirim barang tiap satu semester dua kali, karena tiap kelas membutuhkan 5-7 sapu, belum lagi alat kebersihan lainnya, gayung, ekrak, dan kemoceng,” aku anak dari pemilik usaha Purwanto Sapu ini.

Dalam sehari, ia bisa mengerjakan sapu 50-60 buah. Jika semua bahan siap rangkai, ia menyelesaikan lebih dari jumlah itu. “Karena satu sapu ada sekitar 18 proses yang dilewati, mulai glintiri, nengahi, glibeti dan sebagainya. Kalau semua proses itu dilakukan sendiri, selesainya lebih lama lagi,” ujarnya.

Arif menyebut, harga sapu ditentukan dari jenis bahan yang digunakan. Tingkat kerapian dan tebal-tipisnya rayung. Ada dua bahan bunga glagah yang dipakai oleh para perajin di kampungnya. Yakni, bunga glagah dari pegunungan Merapi-Merbabu berwarna hijau dan kaku. Sedangkan yang berwarna kuning dan lemas dari Banjarnegara.

“Selama pandemi ini, pengiriman bunga glagah masih jalan, dua truk untuk satu kampung. Dikirim tiap Senin dan Rabu,” bebernya.

Sekarang, Arif mulai mendapat pesanan untuk sekolah. Kemudian dari Bandung, Jawa Timur, dan beberapa kota besar lainnya. Setidaknya ia bisa menjual 200-300 sapu per minggu.
Dia berharap, pemerintah bisa menstabilkan harga bunga glagah. Harga bahan baku utama pembuatan sapu itu cukup sering berubah, namun harga jual sapu susah naik. Dirinya juga mengapresiasi perhatian pemerintah dalam menyuntik bantuan permodalan.

“Kami juga berharap, pemerintah ikut membantu memasarkan produk sapu, baik ke tingkat lokal, regional, dan syukur-syukur ke pusat,” harapnya. (put/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya