RADARSEMARANG.COM, Anindya Batik Art memberdayakan pekerja difabel dalam produksinya. Sempat berhenti karena pandemi, usaha konveksi ini bangkit dengan berinovasi memproduksi masker batik.
MIFTAHUL A’LA, Radar Semarang
Anindya Batik Art selama ini dikenal sebagai usaha konveksi spesialis busana batik khas Jateng. Mulai dari batik khas Semarang, Batang, Lasem, Pekalongan dan sejumlah daerah lain. Konveksi ini cukup unik, karena memberdayakan kaum difabel sejak 2010 silam. Mereka dibina, diajari, dan diberdayakan untuk tetap bisa berdikari secara ekonomi.
“Yang menetap di sini enam orang, sementara lainnya freelance. Begitu ada order, langsung kami berdayakan. Memang semua difabel, ada yang tunarungu dan tunawicara,” kata Pemilik Anindya Batik Art Semarang Lisa Farida saat ditemui di Galeri Ipemi Jawa Tengah Jalan Kedungmundu Raya No 2 RT 02 RW 01 Kelurahan Sambiroto Tembalang, kemarin.
Di galeri inilah baju dan masker batik khas buatan dari difabel diproduksi. Galeri ini merupakan fasilitas yang diberikan Ketua Perwakilan Wilayah Ikatan Pengusaha Muslimah Indonesia (Ipemi) Hj Mieke untuk bisa memberdayakan kaum difabel di Semarang. Lisa sengaja memberdayakan mereka karena ingin memberikan ruang, membantu, dan sebagai bentuk ibadah. Ada enam karyawan difabel, dan semua masih tetap bertahan. “Ini sekaligus bentuk ibadah saya, jadi semua tetap bekerja bareng. Ibaratnya makan seadanya yang penting mereka tetap bersama disini,” ungkap wanita 42 tahun ini.
Sebelum masa pandemi, Lisa mengaku Anindya Batik Art rutin mengikuti berbagai event baik lokal maupun nasional. Sementara semua karyawan difabel yang ada terus memproduksi berbagai baju batik. Dalam satu hari, biasanya satu orang bisa membuat satu sampai dua potong baju. Model dan desain juga diserahkan langsung, karena mereka sudah terlatih. Dalam satu bulan omzet yang dihasilkan dari penjualan bisa menembus Rp 30 juta. “Ya itu kotor, tetapi Alhamdulillah bisa menutup semua, termasuk kebutuhan dan biaya untuk karyawan,” ujarnya.
Tetapi cobaan datang ketika pandemi Covid-19 mulai datang sejak Januari 2020. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) ini pun tidak luput dari dampaknya. Pesanan mulai berkurang dan jadwal 11 pameran yang biasanya digunakan untuk menjual hasil produksi dibatalkan. Anindya Batik Art sempat kolaps dan terpaksa menutup sementara produksi sejak Maret-April. Lisa terus memutar otak, karena ia harus terus memberikan pemasukan bagi karyawannya yang bergantung dari usaha tersebut. “Itu yang sulit, akhirnya mau tidak mau saya jebol tabungan untuk bertahan hidup. Saya menangis, dan semua karyawan sama, karena mereka juga butuh pemasukan,” ungkapnya.
Jeli melihat pangsa pasar, alumni Universitas Semarang (USM) ini lantas berinovasi dengan memproduksi masker batik. Karena saat itu masker menjadi kebutuhan wajib bagi masyarakat di tengah pandemi Covid-19. Dengan bahan yang ada, ia mengajak enam karyawan untuk memulai memproduksi masker. Agar bisa masuk pasar, masker dibuat unik, karena dua lapis dan bisa digunakan bolak-balik. Jaringan pasar yang sudah terbangun, membuatnya lebih mudah memasarkan hasil produksi barunya tersebut.
“Alhamdulillah pasar merespon bagus. Meski membuat masker, tetap ada produksi baju batik untuk stok dan permintaan pemesan,” ungkapnya.
Produksi dan aktivitas di Anindya Batik Art pun kembali normal. Dalam sebulan pesanan bisa sampai 1.000 pcs sampai 1.500 pcs. Tidak begitu besar, tetapi semua karyawan tetap bisa bekerja bareng dan bertahan untuk produksi. Karena satu masker batik hanya dibanderol Rp 10 ribu, dan omzetnya satu bulan tidak lebih dari Rp 7 juta. Masker buatan difabel ini dipesan dari instansi dan sejumlah masyarakat umum. Oktober ini, lanjut dia, UKM ini mendapat orderan 1000 pcs dari Kelurahan Sambiroto, Tembalang. Menyusul kemudian sejumlah instansi di Pemprov Jateng. “Alhamdulillah ada orderan, meski omzetnya menurun drastis. Saya tetap bersyukur, semua tetap bisa bertahan bersama-sama,” katanya.
Seorang karyawati Anindya Batik Art Nur Cahyatun terlihat semangat mengerjakan pesanan masker. Ia tampak bahagia meski di tengah keterbatasan bersama dengan lima rekannya. Senyum tulusnya tak berhenti ketika kedua tangannya sedang menyelesaikan masker dengan mesin jahit. “Kami senang bisa terus bekerja bareng di sini,” katanya dengan bahasa isyarat.
Tidak hanya memproduksi, Anindya Batik Art juga rutin menggelar pelatihan gratis kepada difabel di Jateng. Mereka diberikan materi, pemahaman, dan cara untuk menjahit. Yang memberikan materi juga karyawannya sendiri. Begitu sudah mahir, mereka dibebaskan untuk membuka usaha sendiri dan tidak terikat. “Memang tidak mudah, apalagi kalau komunikasi pakai bahasa isyarat. Tapi ya inilah bentuk pengabdian dan ibadah saya. Semoga pandemi segera berakhir agar semua normal, dan mereka bisa bekerja lagi seperti biasa,” harapnya. (*/aro)