32 C
Semarang
Sunday, 4 May 2025

Di Kampung Batik Rejomulyo hanya Ada Tiga Pembatik Muda

Pembatik Generasi Milenial yang Kian Langka di Kota Semarang

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM – Hari ini, 2 Oktober, diperingati sebagai Hari Batik Nasional. Kain batik kini banyak digunakan oleh semua kalangan. Mulai anak-anak, remaja, dewasa, hingga orang tua. Sayangnya, belum banyak generasi milenial yang menekuni dunia batik. Rata-rata pembatik berusia tua.

Batik telah menjadi salah satu tren mode saat ini. Sejumlah figur publik hingga pejabat tinggi bahkan beramai-ramai mengampanyekan #batikIndonesia agar masyarakat turut bangga dengan adanya batik menjadi warisan budaya. Namun, bagaimana dengan minat kaum milenial terhadap pembuatan batik.

Penelusuran RADARSEMARANG.COM di Kampung Batik Rejomulyo, Semarang Timur, para pembatik rata-rata berusia 30 tahun ke atas. Untuk kalangan milenial, koran ini sempat menemui salah satu pemuda setempat yang mulai berbisnis batik. Dialah Elvin Oktamaditya Al Majid. Pemuda yang akrab disapa Elvin ini adalah putra Ketua Paguyuban Kampung Batik Rejomulyo Eko Haryanto. Usianya masih 23 tahun.

Ia memiliki bakat membatik sejak SD kelas 5, karena dikenalkan oleh orang tuanya yang pembatik. “Awal saya belajar membatik, saya membuat motif bunga dan kupu-kupu. Pertama digambar pakai kertas terus dijiplak ke kain. Setelah itu, baru digambar lagi pakai canting,” ujar Elvin kepada RADARSEMARANG.COM.

Elvin mengakui, hanya segelintir pemuda seusianya yang bisa membatik di Kampung Batik Rejomulyo. Jumlahnya kurang lebih 2-3 orang saja. Rata-rata mereka menuruni bakat orangtuanya yang juga menjadi pembatik. “Ada teman saya yang juga bisa membatik di sini. Namanya Krisna dan Paska. Ada lagi satu, tapi tidak terlalu kenal. Dia juga bisa membatik,” katanya.

Dalam melestarikan batik, Elvin mengaku lebih mengembangkan batik ke arah yang sedang tren saat ini. Ia tidak hanya menggunakan media kain saja, namun dikembangkan dalam bentuk lain, seperti sepatu, tas, celana dan lainnya.

Saat kuliah di Politeknik Negeri Semarang (Polines) pada 2017, ia pernah mencoba berkolaborasi dengan UMKM pembuatan sepatu untuk merintis bisnis sepatu batik khusus wanita. Pengerjaan motif batik, ia lakukan sendiri. Sedangkan pembuatan sepatunya dilakukan UMKM tersebut.

“Saat itu, saya bisa memproduksi 20 pasang sepatu dalam seminggu. Sudah lebih dari 100 buah sepatu terjual. Jenis motif batiknya juga beragam dan bisa dicustom. Terkadang saat membuat motif ke arah imajinasi atau hal yang pernah saya lihat sebelumnya,” jelasnya

Selain itu, ia juga membantu orang tuanya melatih membatik anak-anak sekolah. Terkadang Elvin mengajari teman-temannya yang ingin belajar dan mengetahui bagaimana proses membatik.

“Biasanya teman-teman yang aku ajari itu kebanyakan suka seni. Dari anak seni teater, seni tari, dan anak seni lainnya ingin belajar membatik. Kita saling sharing ilmu gitu,” katanya

Elvin mengaku, ingin melanjutkan bisnis batik orang tuanya dengan memadukan gaya membatik klasik dan modern. “Saya tidak ingin meninggalkan motif klasik dari batik. Tapi kita harus mengikuti minat konsumen kekinian,” tambahnya.

Alumnus jurusan Akuntansi Perbankan Syariah ini mengatakan, peran pemerintah dalam menggiatkan produksi batik anak muda Semarang sangatlah penting. “Menurut saya, ada banyak cara, salah satunya para pejabat seperti presiden atau wali kota Semarang pakai batik semarangan. Pasti dapat menarik perhatian masyarakat, khususnya anak muda,” ungkapnya.

Meski kini dalam kondisi pandemi, lanjut dia, jumlah showroom yang masih beroperasi di Kampung Batik Rejomulyo sekitar 20 toko. Kampung ini tetap membuka pelatihan membatik bagi kalangan umum dengan membatasi jumlah peserta. Hal ini dilakukan agar pemilik usaha tetap memperoleh pemasukan tambahan.

Pelatih membatik untuk pemula, Luwiyanto, menjelaskan, rata-rata motif yang digunakan memiliki unsur yang menjadi ikon Kota Semarang. Selain itu, terdapat pula motif batik pesisir yang bebas memilih objek di lingkungan sekitar sebagai motif batik yang dibuat.
“Sebenarnya ciri khas Semarang itu flora dan fauna dan ikon kota, seperti burung blekok. Kalau tanaman ya asamnya, bangunan ya Lawang Sewu sama Tugu Muda. Kalau pesisiran ya menyesuaikan mereka,” katanya.

Ketua Paguyuban Kampung Batik Rejomulyo Eko Haryanto menambahkan, pada Hari Batik Nasional hari ini rencananya akan digelar pelatihan membatik dengan masker sebagai medianya. “Harapannya, anak-anak yang terlibat di kegiatan ini ada salah satu yang dapat meneruskan menjadi pembatik, karena jika tidak dikenalkan mulai dari sekarang mereka tidak akan tahu,” ujarnya.

Menurut Eko -sapaan akrabnya- di Kampung Batik Rejomulyo belum ada pemuda yang menjadi pengusaha batik sendiri. Kebanyakan dari mereka memang telah memiliki kemampuan membatik sejak kecil. “Bagi saya, seorang pembatik itu tidak sekadar bisa membatik atau tahu teknik-tekniknya, tapi juga memproduksi hingga menjualnya kepada konsumen. Kalau di kampung batik sini belum ada generasi milenial yang menjadi pengusaha batik. Tapi yang memiliki kemampuan membatik ya masih ada,” katanya.

Luwiyanto yang punya showroom batik di kampung ini mengatakan, pembatik muda di Kampung Batik Rejomulyo sekadar membantu orang tuanya membuat pesanan batik, belum mendirikan usaha sendiri. “Kalau yang memproduksi batik ya orang tua mereka, nantinya mereka yang membantu. Mereka kebanyakan masih belajar,” ujar pemilik toko Laksmi Art Batik ini.

Di Rumah Batik Semarang 16 di Kelurahan Meteseh RT 02 RW 06, Kecamatan Tembalang, para pembatiknya rata-rata berusia 30-40 tahun. Di rumah batik ini memiliki 32 pecanting.

Menurut penanggung jawab Rumah Batik Semarang 16 Edhie Prayitno Ige, selama pandemi, semua kegiatan membatik dilakukan di rumah pecanting masing-masing. “Namun ada juga para pecanting yang masih tinggal di sanggar, karena tempat tinggal mereka berada di luar kota,” katanya. (mg1/mg2/mg4/mg6/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya