RADARSEMARANG.COM – Rumah Makan Iwak Manuk Pak No sudah berdiri sejak 1998 atau sudah 22 tahun. Lokasinya di dekat rel daerah Sawojajar, Krobokan, Semarang Barat. Meski lokasinya berada di gang sempit, pengunjungnya selalu membeludak. Mulai warga biasa hingga pejabat dan tokoh terkenal.
Rumah Makan Iwak Manuk Pak No lokasinya menyatu dengan rumah pribadi pemiliknya, Subiono. Tepatnya di Jalan Sawojajar I No 44 Krobokan, Semarang Barat. Ketika RADARSEMARANG.COM datang, Subiono alias Pak No tidak berada di tempat. Hanya ada karyawan dan istrinya, Suyatmi. Beruntung, istrinya mau memberi kesempatan untuk berbincang ringan.
“Dulu jualannya masih di dekat tempat pembuangan sampah, Mbak. Tapi sudah lima tahunan pindah di Sawojajar I No 4 ini,”kata Suyatmi atau biasa disapa Yatmi memulai cerita kepada RADARSEMARANG.COM, Selasa (22/9).
Suyatmi pun meneruskan ceritanya. Pada 22 tahun silam, ia dan suaminya memutuskan berjualan iwak manuk. Alasannya, Yatmi ingin menyajikan kuliner langka dan berbeda. Pasangan suami istri ini pun lantas memilih nama iwak manuk atau daging manuk (burung). “Karena kalau jualan penyetan itu kan sudah biasa, banyak yang jual. Kalau iwak manuk jelas jarang,”ujarnya.
Memang penuh perjuangan ketika memulai usaha. Ia mengaku, saat awal berjualan sehari hanya habis tiga ekor. Itupun dibeli oleh tetangganya dan orang yang tak sengaja lewat. Yatmi saat itu tidak menyetok iwak manuk banyak. Ada rasa ketakutan jika iwak manuknya tak laku.
“Karena kulakannya sudah mahal dan langka juga. Sering kami bilang ke pelanggan: sudah habis. Padahal memang stoknya cuma tiga ekor saja,”kenangnya sembari tertawa.
Suyatmi mengaku, ia bersama suaminya tidak pernah melakukan promosi. Sejak dulu hanya bermodalkan obrolan dari mulut ke mulut alias getok tular. Satu orang mencicipi, kemudian memberi tahu yang lain. Lama-lama kenikmatan iwak manuknya terdengar. Warungnya semakin ramai. “Dulu sempat dipaksa untuk promosi masuk ke acara televisi, tapi saya ndak mau, karena malu,”ungkapnya.
Tekad keduanya untuk mengembangkan bisnisnya patut diacungi jempol. Suyatmi mengaku, mengambil burung langka itu dari peternak. Ada penangkarannya sendiri, tak berburu secara bebas. Ada penyetor alias pengepul burung. Suyatmi hanya tinggal mengolah dan memasak. “Kita tinggal masak pakai bumbu. Ada burung belibis, kuntul, puyuh, dan bebek alaska,”jelasnya.
Pantauan RADARSEMARANG.COM, warung Suyatmi selalu ramai. Apalagi jika jam istirahat makan siang, siap-siap saja mengantri. Menu favorit di Iwak Manuk Pak No adalah burung kuntul. Suyatmi berujar, tekstur burung kuntul lebih empuk dibandingkan yang lain. Menu burung kuntul selalu cepat habis dibandingkan menu yang lain. “Di sini dari dulu ada empat jenis iwak manuk, yakni kuntul, belibis, puyuh dan bebek alaska,”katanya.
Di deretan parkir mobil pengunjung tampak sejumlah mobil pelat merah mendominasi. Mobil diparkir rapi di pinggir jalan. Mereka sengaja mampir untuk mengisi perut sebelum kembali beraktivitas. “Yang pernah makan di sini ada Pak Hendi, Pak Ganjar, jajaran Kapolda Jateng, DPRD Kota Semarang dan para dokter RSUP dr. Kariadi. Katanya iwaknya empuk dan sambalnya maknyus,”beber Yatmi.
Koran ini sempat melongok ke dapur rumah makan iwak manuk. Terlihat para karyawan sibuk menyiapkan menu untuk segera dihidangkan. Dengan komposisi nasi hangat, timun, lalapan, sambal, dan iwak manuk. “Supaya tekstur daging bisa lembut dan tidak bau amis, maka sebelum digoreng, burung dimasak terlebih dahulu bersama bumbu rempah selama dua jam,”jelasnya.
Menurut Suyatmi, harga menu iwak manuk cukup terjangkau. Misalnya, untuk burung belibis seharga Rp 30 ribu setengah badan untuk satu orang. Burung kuntul setengah badan Rp 40 ribu, bebek alaska satu ekor komplet Rp 80 ribu, dan burung puyuh Rp 30 ribu berisi dua potong. “Kalau ramai bisa menjual sampai 150 ekor. Itu sudah sama pesanan di luar warung makan,”bebernya. (avi/aro)