RADARSEMARANG.COM – Potensi lokal tak selalu berupa sumber daya alam. Budaya bisa diangkat untuk menggerakkan ekonomi wrga desa.
Berkembangnya teknologi modern membuat sejumlah budaya dan tradisi terkikis. Seperti hilangnya sejumlah permainan tradisional semacam gundu, bentik, bekel, bakiak, egrang yang kalah tenar dengan games lewat telepon pintar.
Emgweny Nur Santi bersama warga Kampung Gender dan Jetisan Kelurahan Walitelon Utara Kecamatan Temanggung akhirnya punya ide membuat sebuah wisata Kampung dolanan. Mereka memanfaatkan halaman warga dan lahan bamboo atau papringan di kampung setempat. Tempat wisata yang hadir setiap 35 hari sekali.
Didesain sederhana, ketika masuk wilayah tempat wisata kampung dolanan maka pengunjung langsung disuguhi sejumlah permainan tempo dulu. Permainan itu diletakkan di depan rumah-rumah warga. Pengunjung pun boleh mencoba.
Pengelola juga telah menyiapkan pemandu permainan. Pengunjung juga dapat menikmati sejumlah kuliner dengan makanan tempo dulu juga di lokasi papringan yang berada di Kampung dolanan tersebut. “Yang jualan juga masyarakat setempat. Yang buat makanannya juga masyarakat setempat,” terangnya.
Pihaknya menyiapkan wisata edukasi untuk anak-anak. Tentang bagaimana cara membuat permainan-permainan untuk anak-anak yang saat ini sudah mulai hilang dimakan zaman.
“Jadi kami juga ada edukasi bagaimana pembuat sotokan, kitiran bunga, mino cards, kipas kertas, layang-layang matematika dan lain sebagainya,” terangnya.
Warga mengaku dibantu dana peralihan dari Kelurahan sebesar Rp 20 juta untuk mengembangkan Kampung Dolanan. Namun selama pandemi Covid-19 ini, tempat wisata yang dimulai sejak Agustus 2019 lalu tersebut tengah mandeg. “Namun demikian, setelah diperkenankan untuk dibuka kembali kami juga telah melakukan persiapan pembukaan kembali. Selain itu sekaligus menyiapkan pengembangannya,” bebernya.
Weny membeberkan, di saat normal, sekali buka, perputaran uang di lokasi sekitar Rp 3 juta hingga 5 juta. “Untuk keuntungannya baru sekitar Rp 800 ribu sampai Rp 1 juta setiap kali bukanya,” terangnya.
Setiap kali buka, pengelola masih belum melakukan penarikan retribusi. Keuntungan itu berasal dari pembagian laba dari pedagang yang jualan di area wisata. “jadi pembagiannya 80 persen mereka, 20 persen dimasukan ke kami,” katanya.
Menurutnya perputaran uangnya memang masih sangatlah rendah lantaran masih perlu dilakukan pengembangan dan pembenahan. “Kita rencananya akan mengembangkan tidak hanya wahana permainan saja. Tapi juga ada edukasi berbagai hal, pertanian peternakan dan lain sebagainya. Namun ini memang butuh proses yang panjang,” ucapnya. (tbh/ton/bas)