RADARSEMARANG.COM, Usianya sudah menginjak 90 tahun, tapi jemari Patanah masih teliti menuangkan malam pada goresan motif di kain morinya. Semangatnya melestarikan batik Rifaiyah tak pernah surut.
RIYAN FADLI, Batang, Radar Semarang
Patanah adalah pembatik tertua di Desa Kalipucang Wetan, Kecamatan Batang yang terus melestarikan batik Rifaiyah. Matanya masih awas melihat dan mengikuti alur-alur goresan pola khas batik Rifaiyah. Batik Rifaiyah sendiri tidak dibuat secara sembarangan. Ada adab-adab yang harus dilakukan. Pembatik melantunkan syair-syair ajaran moral Islam dalam bahasa Jawa. Juga bacaan salawat. Mengingat Tuhan, mendalami nilai-nilai kemanusiaan.
Segmen pasar batik Rifaiyah menengah ke atas. Begitu juga dengan kolektor batik dan pemerhati batik. Alasan orang membeli batik Rifaiyah itu biasanya karena disebut sebagai batik syar’i. Tidak ada unsur kehidupan atau makhluk hidup di motifnya. Jika ada motif burung, letak bagian-bagian tubuhnya sengaja dipisahkan.
Ia mulai membatik sejak umur 20 tahun. Di usianya yang sepuh ini, dalam setahun Patanah hanya bisa menyelesaikan satu kain batik seukuran sarung orang dewasa. Tidak bisa secepat saat muda dulu. Dulu bisa dua sampai empat lembar per tahun. Batik buatannya juga sudah tidak serapi, seperti pembatik lainnya. Faktor usia sangat mempengaruhi kualitas batik yang dibuatnya.
“Saya belajarnya, saat yang lain membatik saya ikut membatik. Sekarang sehari membatik kadang 5 jam, kadang sampai 10 jam. Nek sayah yo leren,” ujar Patanah sembari mencelupkan canting ke dalam wajan kecil berisi malam di atas tungku.
Ia memiliki 4 anak dan 11 cucu. Patanah tidak bisa berbahasa Indonesia, hanya menggunakan bahasa Jawa.
Batik tersebut termasuk langka, kebanyakan pembatik Rifaiyah cuma ada di Batang. Motifnya juga terbilang antik, atau disebut lawasan. Karena itu, batik tersebut banyak diburu kolektor.
Harga batik Rifaiyah kisaran Rp 1 juta sampai Rp 7 juta untuk per lembarnya. Pembuatan batik ini tidak profit oriented, tapi sebagai selingan ibu-ibu Rifaiyah di rumah. Waktu yang dibutuhkan untuk membatik tidak sebentar, mulai dua bulan sampai tahunan. Batik yang dibuat Patanah biasanya tidak dijual dengan harga terlalu tinggi.
“Nek peteng ora iso mbatik, peteng wis ora awas. Alhamdulillah diparingi sehat, isih semangat mbatikke. Anak sekarang jarang yang belajar membatik, mereka lebih sibuk mengerjakan tugas sekolah,” timpalnya.
Di desa tersebut ada sekitar 80 orang yang aktif membatik, salah satunya Maslihah, 40. Tiap hari ia memanaskan tungku malamnya untuk membatik. Saat berkunjung di rumah Maslihah, ia sedang mengerjakan motif Lancur Benji. Salah satu motif khas batik Rifaiyah.
“Kita masih menggunakan cara-cara kuno untuk membatik, tapi kualitas kain dan motifnya tetap kami pertahankan. Prosesnya memang lama, batiknya dibuat bolak-balik,” ucapnya.
Miftakhutin, 43, pembatik lain menjelaskan bahwa hanya ada lima orang di desa tersebut yang bisa menggambar motif batik secara baik. Namanya proses nglowongi. Sementara untuk pewarnaan batik tersebut sekarang menggunakan pewarna sintetis, dengan sistem celup untuk memperkuat warnanya agar tidak mudah pudar. Zaman dahulu pewarna dibuat dari bahan alami, seperti rambutan, mengkudu, mangga dan bahan-bahan dari alam lainnya.
“Kita belajarnya turun-temurun. Pada zaman kecil saya dulu, seluruh anak Rifaiyah bisa dikatakan wajib belajar membatik. Mereka memiliki kesadaran sendiri, melihat orang tuanya membatik, ya ikut membatik,” kata Utin, sapaan akrabnya.
Perempuan Rifaiyah pada zaman dahulu benar-benar dijaga oleh orang tua dan lingkungan. Mereka tidak diperbolehkan bekerja di luar rumah. Situasinya masih dalam masa penjajahan. Tapi perempuan Rifaiyah dituntut untuk memiliki ketekunan dan keterampilan serta menghasilkan. Semua itu bisa dikerjakan di rumah, sembari belajar agama Islam.
“Sambil membatik kita menghafalkan isi kitab-kitab karya KH Ahmad Rifa’i, sang pendiri Rifaiyah. Kita menghafalkan syair-syair seperti ri’ayatul himmah dan syair-syair lain yang juga membahas perdamaian dan moral-moral,” ucapnya.
Utin sendiri sudah hafal 15 syair dari kitab-kitab karya KH Ahmad Rifa’i. Ketika aroma malam masuk dalam rongga hidung, sembari melantunkan syair-syair tersebut, kesakralannya sangat terasa. Ketika sudah dapat mood-nya, pembatik bisa sampai pukul 12 malam, tidak mau berhenti. Utin sendiri biasa mulai membatik dari habis Isya, namun tidak dilakukannya tiap hari. Hanya saat luang.
“Membatik sembari melantunkan syair-syair itu tidak bisa dideskripsikan, rasanya sangat indah. Saya teringat suasana zaman dahulu, saat suasana alam masih terdengar dan terasa sejuk,” tuturnya.
Wartawan koran ini pun ikut merinding, mendengarkan kesakralan batik tersebut dibuat. Ada 24 jenis motif batik Rifaiyah, Utin menjelaskan hanya 20 motif asli. Sisanya bercampur dengan motif batik dari daerah lain.
Dulu dalam setahun, Utin bisa menyelesaikan empat kain dengan motif halus. Namun sekarang hanya bisa menyelesaikan satu kain hanya untuk konsumsi sendiri. Uniknya, Utin terkadang tidak rela batik buatannya dibeli orang. Ia selalu menanyakan kondisi batik yang dibuatnya.
Utin akan protes jika kain batik buatannya dipotong-potong untuk dibuat pakaian. Hal itu karena batik tersebut dibuatnya sepenuh hati. Memberlakukan sehelai kain secara spesial. Tidak ada unsur komersial saat pembuatannya.
“Kami tidak pernah menamakan itu batik Rifaiyah. Ada pihak-pihak lain yang menamai seperti itu. Karena yang bikin orang Rifaiyah, yang jual juga orang Rifaiyah,” katanya. (*/aro)