RADARSEMARANG.COM, Dunia sastra Indonesia kembali berduka. Salah satu begawan sastra kelahiran Jatiwangi, Majalengka, Jawa Barat, Ajip Rosidi, 82, menghembuskan nafas terakhirnya Rabu (29/7) malam pukul 22.30 di RSUD Tidar Kota Magelang. Ajip meninggal setelah menjalani perawatan karena terjatuh kali keempat di rumahnya Dusun Pabelan 1, Desa Pabelan, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
AGUS HADIANTO, Magelang, Radar Semarang
KEHILANGAN SUAMI: Istri kedua Ajib Rosidi, Nani Wijaya, tampak berduka.
Ajip Rosidi dimakamkan Kamis (30/7) pukul 11.30 di kompleks pemakaman keluarga di Magelang. Lokasi makam berada di samping timur rumahnya. Kurang lebih hanya berjarak 100 meter. Makamnya tepat disamping makam istri pertamanya, Patimah, yang lebih dulu meninggal pada 14 Oktober 2014. Sementara istri keduanya, aktris Nani Wijaya, yang dinikahinya pada 2017, terus menangis sepanjang prosesi pemakaman.
Ajip Rosidi dalam sepanjang hidupnya mendedikasikan penuh untuk pengembangan dunia literasi dan sastra Indonesia. Bahkan, bisa dikatakan Ajip Rosidi merupakan sastrawan yang mengangkat tema lokal daerah, terutama sastra sunda.
Putri keenam Ajip Rosidi, Titis Nitiswari, di sela-sela prosesi pemakaman di rumah duka mengatakan, pihak keluarga memutuskan untuk memakamkan ayahnya di Desa Pabelan, Magelang, karena sudah tinggal di sini. Selain itu, kata Titis, setelah pulang dari Jepang, Ajib telah memutuskan untuk tinggal di Pabelan.
“Kan memang tinggal di sini. Jadi, waktu bapak pulang dari Jepang itu, dia (bapak) memutuskan untuk tinggal di Pabelan. Makanya, dia bikin perpustakaan dulu, itu perpustakaannya,” katanya seraya menunjuk sebuah bangunan rumah cukup besar.
Titis mengaku, sebelum sakit, ayahnya sempat terjatuh empat kali. Jatuh pertama, kata Titis, saat jalan-jalan sendirian dan hanya luka lecet saja. Kemudian jatuh sebanyak tiga kali, menurut Titis, sangat berpengaruh banyak terhadap kesehatannya.
“Bapak kan hobi jalan-jalan. Setiap satu atau dua jam pasti jalan-jalan. Setelah jatuh pertama, kemudian bapak disarankan istirahat karena ada kanker tulang. Mungkin setelah itu, bapak tidak boleh jalan-jalan lama, jadi sedikit bosan. Kemudian jatuh kedua, jatuh ketiga, dan terakhir jatuh keempat sama ibu (Nani Wijaya, Red). Jatuh terakhir ini didampingi ibu, karena ndak kuat akhirnya jatuh bareng,” ungkapnya.
Ia menyebutkan, sebelum jatuh sakit, ayahnya berkeinginan membuat karya tentang Rasulullah SAW. Tidak hanya membuat karya tentang Rasulullah saja, menurut Titis, Ajib juga ingin menulis roman.
Titis mengungkapkan, keinginan ayahnya itu menyusul adanya pertanyaan dari salah satu temannya, tentang hal tujuan terakhir. Lalu, kata Titis, Ajib langsung seketika ingin membuat sesuatu tentang Rasulullah SAW, entah berupa puisi atau apa.
“Waktu itu, beliau (bapak) pernah ditanya oleh teman saya. Teman saya tahu karena sudah sepuh, tujuan terakhir bapak ini apa? Terus beliau (bapak) ingin membuat sesuatu tentang Rasulullah SAW. Apakah itu buku atau puisi atau apa, nggak tahu juga. Dia mulai baca-baca, tapi habis jatuh itu pagi-pagi subuh. Dia bilang Titis saya punya ide mau bikin roman,” bebernya.
Ia menuturkan, roman yang akan ditulis oleh ayahnya tersebut telah diberi judul Menjadi Indonesia. Rencana menulis roman tersebut, lanjut Titis, telah diceritakan ayahnya kepada temannya di Perancis.
“Judulnya Menjadi Indonesia karena dia sudah berbicara dengan temannya di Perancis. Beliau (bapak) cerita mau bikin, sudah di kepala, tinggal diketik. Karena beliau mengetiknya sudah susah, saya bantu ngetik. Baru 8 halaman karena mungkin sudah sepuh ada bagian fragmen yang mesti dicek kebenarannya, saat itu kondisi politiknya saya lupa harus cek dulu, dia bilang,” ungkapnya.
Titis menambahkan, ayahnya meminta dirinya untuk diambilkan majalah sekitar tahun ’60-70-an dari perpustakaan keluarga. Majalah Warta yang diambil tersebut, kata Titis, kemudian diberikan ke ayahnya dan selama tiga hari dibaca. “Setelah tiga hari baca, beliau udah bilang mau neruskan, tapi keburu jatuh yang kedua, jadi nggak bisa diterusin lagi,” ucapnya.
Salah satu pelayat yang juga Wakil Ketua Yayasan Kebudayaan Rancage, Erry Riyana Hardjapamekas, bersaksi bahwa Ajip Rosidi merupakan orang besar dan orang baik. Selain itu, lanjut Erry, Ajip merupakan orang yang penuh cinta, bukan hanya terhadap bahasa dan sastra, namun juga cinta pada kemajuan bangsa.
“Buat saya Pak Ajip orang besar, orang baik. Orang yang cinta, bukan hanya bahasa dan sastra, tapi beliau juga cinta pada kemajuan bangsa, kemajuan negara. Sangat peduli pada kelangsungan atau kelestarian bahasa daerah. Dengan itulah maka beliau mendirikan Yayasan Rancage dan saya terlibat sejak kurang lebih 25 tahun bersama Pak Ajip Rosidi,” akunya.
Salah satu tetangga dekat Ajip Rosidi, yakni Ketua IPHI Desa Pabelan Mahmud Masduki menyampaikan, selama 12 tahun tinggal di Pabelan, Ajip Rosidi orang yang sangat tekun menjalankan puasa Daud. Bagi Mahmud, sosok Ajip merupakan orang yang senang bersosialisasi dengan tetangga.
“Saya bersaksi, beliau orang baik. Beliau sering ikut pengajian. Kadang-kadang juga beliau memanggil ke rumah, bersama kiai-kiai lain. Insya’ Allah beliau sastrawan besar, tidak akan dilupakan oleh bangsa ini,” ujarnya.
Pantauan RADARSEMARANG.COM, sejumlah pelayat semakin banyak yang mendatangi rumah duka. Tampak puluhan seniman ikut takziah. Seperti Presiden Lima Gunung Sutanto Mendut bersama istri, istri mendiang WS Rendra, Dr Oei Hong Djien (OHD), serta lainnya. Bahkan para santri dan santriwati Pondok Pesantren Pabelan pun bergantian ikut salat jenazah. Sebab, Ajip Rosidi terkait erat dengan Pondok Pesantren Pabelan.
Salah satu staf Ponpes Pabelan sekaligus cucu Ajip Rosidi yakni Citradi mengaku, para santri dan santriwati memang ingin melayat dan juga ikut menyalatkan. Untuk itu, kata Citradi, para santri dan santriwati dibuat bergiliran datang di kediaman rumah duka.
“Mereka dari Pondok Pabelan. Putri pertama Pak Ajip, namanya Hj Nunun Nuki Aminten, itu kan salah satu istri pengasuh di Pabelan. Istrinya Pak Ahmad Mustofa, pengasuh Ponpes Pabelan saat ini. Jadi, otomatis santrinya pada datang ke sini, ” katanya.
Citradi menyampaikan, para santri datang melayat secara bergantian. Kakeknya, yakni Ajip Rosidi, kata Citradi, meninggalkan seorang istri Nani Wijaya. Selain itu, juga meninggalkan enam anak, sebelas cucu, dan empat cicit dari pernikahan sebelumnya.
Sejumlah karangan bunga juga tampak terlihat di rumah duka. Antara lain dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim, dan Gubernur Provinsi DKI Jakarta Anies Baswedan. Juga rektor serta civitas akademika Universitas Negeri Yogyakarta, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Universitas Padjajaran, pengurus KASI Pusat, Yayasan Kebudayaan Rancage, dan lainnya. (had/aro)