RADARSEMARANG.COM, Sejak 1993, Lila Nata Saputra, 56, menggeluti budidaya tanaman anggrek. Selain sebagai pecinta anggrek, Lila juga pengusaha anggrek terkenal di Kota Salatiga.
DHINAR SASONGKO, Salatiga, Radar Semarang
TAK sulit menemukan rumah Lila Nata Saputra. Meskipun berada di dalam gang, tepatnya di Jalan Kalimangkak Gang 3, namun aksesnya mudah. Gerbang biru setinggi dua meter menjadi pintu masuk ke rumah Lila. Dari luar sudah kelihatan paranet yang terpasang di atap bangunan. Salah satu ciri khas pemilik tanaman hias. Gonggongan tiga anjing lucu menyambut tamu yang datang. Meski suara gonggongan keras, namun ternyata jinak.
Di rumah tersebut, terdapat kebun anggrek yang terbagi dalam tiga bagian. Kanan, kiri, dan atas rumah. Semuanya berisi aneka anggrek. Total 2000 meter persegi menjadi lahan kebunnya.
Tamu masuk ke bagian kiri rumah utama. Memasuki area anggrek, ratusan botol kaca yang di dalamnya berisi bibit anggrek tertata di dalam rak. Posisi botol tertidur. Semua botol tertulis kode masing-masing jenis anggrek.
“Itu adalah kode untuk mengetahui jenis anggrek dan indukannya. Semua terdata dalam file saya,” terang Lila saat memulai perbincangan dengan RADARSEMARANG.COM.
Sementara di sisi lain, ribuan anggrek tertata rajin. Semua dikelompokkan berdasar usia. Ada yang sedang berbunga ataupun tidak. Yang tidak sedang berbunga sudah diketahui jenis bunganya, karena memiliki kode khusus.
Dijelaskan Lila, merawat anggrek merupakan hal mudah. Hanya diperlukan ketelatenan. Sebagai alumni Fakultas Pertanian Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, bapak dua anak ini sudah makan asam garam merawat anggrek.
“Sejak lulus 1988, saya mempelajari bisnis anggrek. Akhirnya, saya mengambil posisi sebagai produsen anggrek,” terang Lila.
Produsen ini fungsinya memijah anggrek menjadi bibit yang siap jual. Ia menjelaskan, jika anggrek dalam kacamata bisnis dibagi menjadi dua. Anggrek pasaran dan anggrek koleksi. Disebut anggrek pasaran seperti anggrek bulan dan dendro karena peminat banyak dan harga terjangkau. Sementara anggrek koleksi misalnya Catleya dan Vanda. Peminat terbatas dan harganya cukup tinggi.
“Mahal karena kelangkaan dan jenis bunganya. Anggrek pasaran di bibit dalam botol itu hanya satu tahun sebelum dipindah ke polybag. Namun anggrek koleksi bisa mencapai dua tahun di dalam botol,” jelas pria yang sering menjuarai kontes anggrek ini.
Setelah di polybag, anggrek pasaran hanya memerlukan waktu 8-10 bulan sebelum berbunga. Namun untuk anggrek koleksi biasanya lima tahun baru berbunga. “Sehingga wajar jika mahal anggrek koleksi,” urai dia.
Lila mengembangkan anggrek dengan sistem hybrid. Tidak jarang ia membeli biji dari luar negeri seperti Taiwan dan Thailand agar bisa mendapatkan bibit yang bagus. “Ini tantangan bagi kita, karena saat ini bibit anggrek yang masuk ke Indonesia bisa mencapai 500 ribu bibit per tahunnya sebelum pandemi korona ini” jelasnya.
Jumlah itu mengkover lebih dari 60 persen kebutuhan bibit anggrek. Hal itu dikarenakan minimnya produsen anggrek di Indonesia. Ia berharap masyarakat pecinta anggrek jeli dalam memilih dan merawat anggrek. Dari sisi kualitas, anggrek dibagi menjadi empat kategori, yakni premium, grade, sortir dan BS. Premium adalah anggrek yang bagus warnanya dan memiliki bunga minimal tujuh per tangkai. Sementara grade dengan jumlah sama, tetapi berbeda warna. Sedangkan sortir adalah anggrek yang memiliki bunga di bawah tujuh per tangkainya.
“Kalau BS adalah tanaman yang masih muda dipaksa untuk berbunga. Ini biasanya karena dikejar waktu agar laku. Namun di sisi kualitas kurang bagus,” imbuh dia.
Dikatakan, pembeli kalau memilih anggrek harus melihat dari daun. Jika daun sehat, maka bunga juga akan bagus. Lila meluruskan pandangan masyarakat yang salah kaprah dalam merawat anggrek. Tanaman ini tidak ada waktu pasti kapan harus disiram. Hanya saja, penyiraman harus dilakukan apabila media tanaman, yakni pakis, arang dan sekam kering.
Dari bisnis ini, ia bisa meraup kisaran Rp 200-an juta per bulan. Itu berasal dari tanaman yang dijual ke seluruh pelosok nusantara. Hanya saja di masa pandemi Covid-19 ini, bisnis anggrek memang merosot. Bukan karena minim peminat, namun lebih dikarenakan kesulitan untuk mengirim tanaman. (*/aro)