RADARSEMARANG.COM, Dokter, perawat dan tenaga kesehatan bekerja keras selama pandemi virus Covid-19. Profesi mereka penuh risiko. Tidak sedikit yang tertular virus mematikan tersebut, bahkan ada yang sampai meninggal.
IDA FADILAH, Radar Semarang
Menjadi garda terdepan dalam penanganan pandemi Covid-19 tentu membutuhkan keyakinan dan nyali tinggi. Semua perasaan khawatir dan ketakutan dibuang jauh-jauh. Tugas tetap harus dijalankan dengan segala risiko.
Hal itu yang dialami Wakil Direktur Pelayanan RSUD Tugurejo Dr Prihatin Iman Nugroho, MKes, Sp.P. Dokter spesialis paru ini turun langsung menangani pasien Covid-19 maupun yang masih berstatus Pasien Dalam Pengawasan (PDP) maupun Orang Dalam Pemantauan (ODP).
Kepada RADARSEMARANG.COM, Nugroho berkisah, saat awal menghadapi penyakit baru ini, pihak rumah sakit sempat tergagap. Hal tersebut lantaran panduan berubah-ubah hingga empat kali. Dari situlah, satu sisi keilmuan terus berusaha menegakkan diagnosis, baik dari sisi gejala penunjang, gejala dan obat yang dimiliki.
“Kami berusaha melakukan pendekatan sesuai panduan. Kami sebagai pengelola rumah sakit dituntut untuk melakukan pelayanan terbaik, mulai pasien masuk IGD hingga ruang isolasi, penggunaan APD (alat pengaman diri) dan panduan bagi kita dalam waktu yang sempit,” katanya.
Karena virus ini menyerang paru-paru, Nugroho harus lebih mengetahui justifikasi pasien mengarah ke Covid-19 atau tidak. Kekhawtiran juga menyelimuti perasaan Nugroho setiap kali menangani pasien. Terlebih ia memiliki anak kecil.
Kuncinya, lanjutnya, keyakinan bahwa tenaga medis harus berusaha untuk menguatkan diri, di mana hal ini merupakan tanggung jawab profesi. Kedua, bahwa tugas dokter sebagai leader dan tenaga kesehatan suka tidak suka harus melakukan pelayanan.
“Ketiga, kami berserah diri kepada Gusti Allah bahwa Dia akan memberikan perlindungan kepada kami. Itu yang menguatkan kami untuk melakukan pelayanan dengan ikhlas,” ujarnya.
Nugroho memahami betul bagaimana kegamangan tenaga medis lainnya. Tak hanya dokter dan perawat, ia berusaha meyakinkan dokter spesialis, tenaga penunjang seperti laboratorium, radiographer, radiolab, hingga sanitasi untuk tidak takut.
Bagi dia, kekhawatiran menimbulkan kewaspadaan. Namun yang terpenting, ketika melakukan pelayanan harus mengenakan alat pelindung diri dengan baik dan benar. Selain itu, ia juga meyakinkan bawah tenaga medis yang menangani harus dalam kondisi sehat. Dengan begitu, tenaga medis bisa betul-betul menjalankan tugas dengan ikhlas.
Mengenai APD, Nugroho mengaku sempat kebingungan karena tidak pernah mengenakan sebelumnya. Sementara panduan urutan pemakaian banyak diulas di media sosial dan berbeda-beda. Hingga akhirnya muncul panduan dari Kementerian Kesehatan untuk mengikuti alurnya.
“Awal-awal ada yang lucu, ya mulai dari penggunaan APD. Sebelumnya salah-salah juga. Di awal-awal merasa ampek, karena nggak pernah pakai masker lebih dari setengah jam. Sekarang kita minimal memakai APD setengah jam,” jelas ayah tiga anak ini.
Berkaitan dengan keluarga, meskipun tidak sakit Nugroho sempat mengisolasi untuk tidak pulang selama 14 hari. Hal tersebut dikarenakan untuk mengurangi kontak dengan keluarga di rumah.
Ia lantas tinggal di wisma rumah sakit bersama dua tenaga medis lainnya. Meski begitu, komunikasi tak pernah terputus, bahkan menjadi lebih sering dari sebelumnya. “Saya sempat isolasi di wisma rumah sakit selama 14 hari, tetap kerja namun tidak kontak dengan keluarga. Keluarga support, satu sisi mengkhawatirkan seperti kakak saya yang sering menelpon untuk berhati-hati. Istri dan anak-anak juga memberikan support melalui video call dan mengirim logistik,” kisahnya. (bersambung/aro)