RADARSEMARANG.COM, Pandemi Covid-19 sudah menjadi bencana global. Virus ini telah melumpuhkan berbagai segi kehidupan masyarakat di seluruh penjuru dunia, termasuk di Inggris. Berikut ini laporan AGUNG NUGROHO, Dosen Universitas Negeri Semarang (Unnes) yang sedang menempuh program doktoral di School of Education University of Bristol Inggris.
SEJAK pandemi Covid-19, Kota Bristol yang selalu ramai kini cenderung lengang. Lalu lalang kendaraan di jalan raya tak seramai dulu. Warga lebih banyak menghabiskan waktunya di rumah. Mereka takut tertular virus yang berasal dari Wuhan, Tiongkok tersebut. Sebab, jumlah korban meninggal akibat Covid-19 di Inggris terus bertambah.
Data yang dikutip dari www.worldmeters.info per tanggal 4 April 2020 pukul 11.15 kemarin, jumlah korban jiwa akibat Covid-19 di Inggris sudah mencapai 3.605 orang. Tak heran, jika pemerintah setempat langsung memberlakukan semi lockdown untuk mencegah penularan virus mematikan ini.
Setelah aturan semi lockdown ini diberlakukan, praktis semua pusat keramaian menjadi sepi, bahkan banyak yang tutup. Sebab, segala kegiatan di luar rumah yang melibatkan keramaian akan dibubarkan secara paksa. Bahkan akan didenda di tempat oleh aparat yang berwenang.
Karena masih pembatasan parsial, khusus untuk kegiatan yang penting masih diizinkan. Misalnya, belanja, olahraga, dan bepergian untuk melakukan hal-hal yang dianggap penting masih diperbolehkan. Masyarakat masih diizinkan untuk pergi ke toko atau supermarket untuk membeli bahan pokok atau melakukan jogging keliling kota.
Akan tetapi apabila aktivitas tersebut dilakukan secara bersama-sama, pemerintah hanya memperbolehkan dua orang secara bersamaan, kecuali keluarga yang tinggal dalam satu atap. Itu pun mereka harus menjaga jarak sekitar dua meter antara satu dengan yang lain atau menerapkan aturan social distancing. Ini guna mengurangi risiko bersentuhan yang pada dasarnya menjadi sarana utama penyebaran Covid-19.
Tak hanya itu, sejak aturan semi lockdown diberlakukan, Pemerintah Kota Bristol resmi menutup mal, sekolah, gelanggang olah raga, dan tempat ibadah di seluruh penjuru kota. Pemerintah juga menerapkan sistem social distancing atau jaga jarak di segala tempat yang masih diizinkan untuk beroperasi dan berpotensi menimbulkan keramaian. Seperti pom bensin, kantor pos, toko bahan makanan, dan tempat-tempat yang menciptakan antrean lainnya.
Di setiap toko yang masih buka juga dianjurkan untuk menerapkan sistem one store with limited number of people, di mana jumlah orang yang masuk ke toko atau pusat keramaian tersebut akan dikontrol berdasarkan besar kecilnya ruangan yang dimiliki oleh tempat tersebut. Misalnya, beberapa toko kecil hanya mengizinkan tiga sampai lima orang pada waktu yang bersamaan untuk melakukan pembelian. Sedangkan untuk toko besar, mereka dapat mengizinkan 10 sampai 20 orang dalam satu kali kesempatan untuk berbelanja.
Tak ayal, hal tesebut menciptakan antrean yang super panjang, bahkan sampai di sepanjang jalan atau tempat parkir di sekitar toko tersebut. Seperti yang terlihat di Toko Aldi. Warga berderet hingga ke areal parkir. Jarak antar pengunjung toko ini sekitar 1,5-2 meter. Ini untuk mencegah penularan virus Covid-19. “Ya, harus ekstrasabar,” ucap Aswina Fathimatul Habib, istri penulis yang sudah dua tahun ini tinggal di Bristol.
Meski begitu, warga yang beraktivitas di luar rumah jarang yang mengenakan masker. Bagi warga Bristol, masker hanya digunakan bagi mereka yang sedang sakit. Sedangkan yang sehat, tidak wajib memakai masker. Hampir sama di Indonesia, ketersediaan masker dan hand sanitizer di pasaran juga langka. Harga alat pelindung diri tersebut juga melambung. Harga selembar masker berkisar antara 1 hingga 2 Poundsterling. Sedangkan hand sanitizer berkisar antara 2 hingga 4 Poundsterling per 100 ml. (1 poundsterling sekitar Rp 20 ribu)
Meski di setiap toko harus antre panjang, tak satu pun warga yang melayangkan protes, baik kepada petugas toko maupun pemerintah setempat terhadap aturan ini. Mereka tetap antre dengan tertib. Tidak ada yang ngeruntel (bergerombol) maupun saling serobot. Hal tersebut kemungkinan disebabkan oleh tingginya kesadaran dan kemakluman dari masing-masing individu mengenai situasi darurat Covid-19 yang sedang mereka hadapi. (*/bersambung/aro)