RADARSEMARANG.COM, Selama 15 hari, Lastri, 45, berjuang melawan virus Covid-19. Ia dirawat di RSUD KRMT Wongsongnegoro Kota Semarang. Warga Ungaran, Kabupaten Semarang ini akhirnya dinyatakan sembuh dan diperbolehkan pulang.
MARIA NOVENA S,Ungaran, Radar Semarang
AKTIVITAS berjemur di bawah sinar matahari pagi kini rutin dilakukan Lastri. Ia biasa melakukannya di depan rumahnya di Kelurahan Susukan RT 4 RW VII, Kecamatan Ungaran Timur. Maklum saja, ibu tiga anak ini baru dinyatakan sembuh dari Covid-19. Ia pulang dari RSUD KRMT Wongsonegoro pada 31 Maret lalu.
Ditemui di rumahnya, Lastri menceritakan, ia terinfeksi virus yang berasal dari Kota Wuhan, Tiongkok tersebut sepulang dari Pulau Bali. Kebetulan saat itu ia sedang ada rapat di Pulau Dewata.
“Ketika wabah korona itu rame dibicarakan, saya bersama suami sedang ada rapat di Bali. Saat itu, belum ramai seperti sekarang,” katanya sambil melepas masker yang masih dipakainya setiap hari.
Nah, sepulang dari Bali, ia merasakan badannya sakit, nafasnya berat, dan kadang batuk. Kebetulan Lastri memiliki riwayat Tuberculosis (TBC) dan usai operasi tiroid. Belum lagi kecapekan usai perjalanan dari Bali.
“Tapi saat itu saya masih belum mau periksa ke dokter. Baru pada hari ketiga, setelah dipaksa suami, saya mau ke RS Ken Saras. Dengan gejala tersebut, saya langsung masuk ruang isolasi. Saat itulah, saya sudah tidak lagi bertemu suami,”ceritanya didampingi sang suami, Triyono.
Karena ada gejala terinfeksi Covid-19, pihak rumah sakit angkat tangan. Selanjutnya pada 16 Maret, Lastri dirujuk ke RSUD KRMT Wongsonegoro Kota Semarang.
“Awalnya, saya mau dirujuk ke RSUP Dr Kariadi. Bahkan, saya sempat menunggu satu jam di dalam ambulans. Tapi, ternyata ruang isolasi pasien Covid-19 RSUP Dr Kariadi penuh. Akhirnya, saya dirujuk ke RSUD KRMT Wongsonegoro,” bebernya.
Ia masuk rumah sakit milik Pemkot Semarang itu sekitar pukul 23.00. Lastri langsung dirawat di ruang isolasi. Saat test swab pertama, hasilnya negatif Covid-19. Meski demikian, Lastri tetap dikarantina. Keluarganya sudah tidak bisa mendampinginya. Pada hari ke-10, kembali dilakukan uji swab. Di luar dugaan, hasilnya positif Covid-19. Saat diberitahu positif korona, Lastri kaget bukan kepalang. Ia sempat syok.
“Saat dikasih tahun positif Covid-19, saya seperti tersambar petir. Saat itu, saya tidak memikirkan bagaimana kondisi saya. Tapi, justru yang saya pikirkan keluarga. Pasti keluarga saya akan dijauhi, diintimidasi dan banyak hal. Karena ini kan penyakit menular,” ceritanya.
Seharian penuh Lastri menangis di ruang isolasi. Air matanya tumpah seakan sampai mengering. “Saya sempat putus asa. Dua hari makan rasanya hambar. Mau berdoa saja tidak bisa, hanya nangis aja gitu,” tambahnya.
Di hari ke 13, semangatnya mulai tumbuh. Ia mendapat suntikan semangat dari tim medis yang merawatnya. Dokter, perawat, bagian katering, hingga petugas cleaning service rumah sakit selalu menguatkan keyakinannya untuk sembuh. Tim medis juga kerap bercanda hingga dirinya menjadi lebih santai.
Menurut Lastri, yang bisa mempercepat sembuh dari Covid-19 bukan orang lain, tapi dirinya sendiri. Ia buang semua beban pikiran yang berat. Setiap kali bertemu perawat, ia selalu dibuat tersenyum. Hal itu membuat pikirannya menjadi lebih santai. Suasana ruang isolasi itu pun menjadi cair, dan tidak mencekam seperti sebelumnya.
“Dukungan keluarga memang nomor satu. Biasanya saya video call sama suami. Selama di ruang karantina, kami juga saling menyemangati dengan sesama pasien sekalipun tidak kenal. Jarak antara saya dengan pasien lain sekitar tiga meter, tapi kami selalu bercanda. Seperti orang berantem, teriak-teriak,”ceritanya sambil tersenyum.
Selama dikarantina, ia juga tidak membuka semua pemberitaan berkaitan dengan pasien positif Covid-19 dari gadget-nya. Sebab, pemberitaan Covid-19 justru membuatnya drop.
“Lebih baik melihat hiburan yang membuat tertawa, jangan membaca berita yang membuat kita justru semakin drop. Setiap hari, dokter juga ingatkan soal itu,” katanya.
“Selama diisolasi, saya banyak istirahat dan mengisi hari dengan berdoa. Infus juga di tangan untuk memasukkan vitamin. Handphone hanya untuk komunikasi dengan suami. WA dari teman tidak saya balas, media sosial off, berita juga tidak membaca, fokus pada kesehatan,” tegasnya.
Lastri juga mengikuti semua perintah dokter. Termasuk setiap hari dijemur di bawah matahari pagi. Ternyata, manfaat dede (berjemur di bawah matahari pagi, Red) itu sangat besar. “Itu bisa meningkatkan sistem kekebalan dalam tubuh dan bisa mendapatkan asupan vitamin D,” katanya.
Suami Lastri, Triyono, memiliki cerita unik ketika istrinya menjalani karantina di RSUD KRMT Wongsonegoro. Setiap pagi, siang, bahkan malam, ia selalu mendapat kiriman makanan lewat ojek online. Ia sendiri tidak tahu siapa pengirimnya. “Sembako pun selalu berdatangan silih berganti,” katanya.
Ia sendiri sempat merasa bersalah ketika istri dinyatakan positif Covid-19. Namun ia berusaha tegar dan selalu menyemangati sang istri untuk sembuh setiap kali berbicara lewat handphone maupun video call.
Setelah istrinya dinyatakan sembuh tepat di hari ke-15, Triyono pun langsung berucap syukur. Dan, begitu istrinya diizinkan pulang, ia pun langsung membagikan seluruh sembako yang diterimanya dari pengirim misterius kepada para tetangga.
“Kami mampu melewati ini semua karena dukungan tetangga juga. Kebetulan saya menjadi ketua RT. Melalui grup WA, tetangga kami sangat membantu dalam melewati masa-masa sulit saat istri di rumah sakit,” ungkapnya. (*/aro)