RADARSEMARANG.COM, Di tangan Wida Pramudya Bayu Adhi, sampah organik disulap menjadi bata. Namanya Bata Eco Konstruksi atau Bekon. Seperti apa?
NORMA SARI YULIANINGRUM, Pekalongan, Radar Semarang
Wida Pramudya Bayu Adhi tercatat sebagai mahasiswa jurusan Teknik Konstruksi Universitas Pekalongan (Unikal). Ia mengaku prihatin dengan permasalahan sampah di Kota Pekalongan yang tak kunjung menemukan solusi. Terbukti, Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah mengalami overload.
Tak hanya itu, limbah organik dari berbagai hotel dan restoran juga melimpah. Hal ini memantiknya untuk berinovasi menciptakan sesuatu dari sampah organik tersebut. Hingga muncul ide membuat Bata Eco Konstruksi atau Bekon.
Bayu –sapaan akrabnya– kali pertama menciptakan Bekon untuk menunjang keikutsertaannya dalam Lomba Pemilihan Mahasiswa Berprestasi 2019. Berbekal ilmunya di bidang konstruksi serta melihat permasalahan yang ada, ia kemudian menciptakan Bekon dengan bahan material 97 persen dari limbah organik.
Tak tanggung-tanggung, untuk memperoleh limbah organik tersebut, ia harus blusukan ke TPA Degayu Pekalongan. “Saya juga berkeliling dari satu restoran ke restoran lainnya untuk bisa memperoleh limbah dapur,” kata Bayu kepada RADARSEMARANG.COM, Kamis (2/4).
Hal tersebut dilakukan Bayu, karena ia sadar betul bahwa masalah sampah masih menjadi PR besar di Kota Pekalongan. Ia mengungkapkan, setiap hari ada sekitar 175 ton sampah yang ditimbun di TPA, dan 53,71 ton yang tidak dikelola. Karena itu, ia berharap Bekon ini mampu mengurangi jumlah sampah tersebut.
“Kalau sebuah bangunan roboh, maka beton biasa yang menyangganya sudah tidak bisa digunakan lagi, dan menjadi limbah baru. Berbeda dengan Bekon yang terbuat dari limbah organik. Jika hancur ia akan terurai dan menjadi tanah,” papar mahasiswa semester VI ini.
Adapun proses pembuatan Bekon hampir mirip dengan proses pembuatan batako dari bahan semen. Bekon juga tidak melewati proses pembakaran seperti batu bata merah. Tak hanya mengkreasikan Bekon. Bayu pun membuat sendiri alat pres Bekon sendiri.
Selain materialnya yang ramah lingkungan, lanjut dia, harga Bekon juga terbilang cukup terjangkau jika dibandingkan bata beton biasa. “Jika bata beton biasa bisa diperoleh dengan harga Rp 1.500 per biji, maka Bekon hanya dibandrol seharga Rp 400,” ujarnya.
Kendati demikian, kekuatan Bekon tak perlu diragukan. Apabila mengalami crack, pada Bekon bisa dilakukan injeksi dengan menggunakan polimer. Selain itu, jika terpapar hujan dan terik matahari dengan intensitas waktu yang lama, Bekon akan tetap kuat dan tidak mudah terkikis.
Upaya Bayu untuk membantu miminimalkan limpahan sampah di Kota Pekalongan tak berhenti sampai di situ. Dalam waktu dekat ini, ia berencana untuk membuat desa binaan di sekitar TPA Degayu dan Wonokerto dengan memberdayakan warga setempat. Nantinya, warga akan diajarkan untuk mengolah limbah organik menjadi Bekon. Setelah jadi, Bekon tersebut bisa digunakan untuk membangun rumah atau dipasarkan oleh warga itu sendiri.
Hal ini selaras dengan banyaknya jumlah keluarga yang tak memiliki tempat tinggal sendiri di Pekalongan.
Bayu mengatakan, sejauh ini jumlah keluarga kurang beruntung tersebut mencapai 13.624 KK di Kota Pekalongan dan 41.000 KK di Kabupaten Pekalongan. Karena itu, ia berharap Bekon ini tak hanya mampu mengurangi jumlah sampah, namun juga membantu masyarakat memperoleh bahan konstruksi dengan harga yang terjangkau. (*/aro)