RADARSEMARANG.COM, Restorasi mobil antik membutuhkan waktu yang cukup lama. Selain itu juga kesabaran dan keahlian ekstra. Namun jika sudah selesai, mobil yang awalnya berharga puluhan juta bisa berubah jadi miliaran rupiah.
DHINAR SASONGKO, Salatiga, RADARSEMARANG.COM,
Rumah Wawan Santoso di kawasan Ngampel, Blotongan, Sidorejo memang tidak di tepi jalan besar. Namun rumahnya sekilas seperti bengkel. Dari luar pagar, terlihat rangka mobil. Berbagai bagian mobil tergantung. Terlihat baru saja dicat.
Sementara di sampingnya, ada empat unit mobil. Tiga di antaranya tertutup selimut mobil. Hanya ada tulisan jenis mobilnya di depan selimut. Dodge, De Soto dan Ford keluaran 1948.
Ketiga unit mobil itu adalah kesayangan Wawan Santoso, penggemar mobil klasik. Ia juga sang pemilik bengkel restorasi. Ia memiliki 12 unit mobil keluaran 1948. Selain itu, ada seratusan unit mobil antik lain yang disimpan di Solo. Tepatnya di Heritage Palace.
“Sejak kecil saya diajak (almarhum) bapak kemana-mana berburu mobil antik. Akhirnya, saya menyukai dan mengoleksinya,” tutur Wawan Santoso saat ditemui di rumahnya, kemarin.
Anak kelima dari sembilan bersaudara ini memiliki minat untuk mengumpulkan mobil antik. Namun ia mengkhususkan mobil yang mengaspal di Indonesia. Ia menyimpan mobil keluaran 1914, yakni Chandler.
“Merestorasi mobil membutuhkan waktu yang cukup lama. Dari bahan, perlu waktu 1-2 tahun. Itu tergolong cepat,” tutur pria kelahiran 1980 itu.
Biasanya, ia mendapatkan mobil dengan kondisi mesin 30-40 persen. Butuh kerja keras untuk menghidupkan kembali. “Mobil sudah tidak diproduksi. Kalau mencari onderdil biasanya ke sesama penghobi hingga keluar negeri. Jika tidak ada ya membuat sendiri,” terangnya sambil menceritakan proses restorasi.
Setelah mendapatkan bahan dan mobil yang akan direstorasi, maka ia bersama kru akan membongkar habis. Bagian per bagian dilepas. Kemudian dibersihkan. Dicat ulang. Dan dikembalikan fungsinya.
Rangka mobil masuk ke las dan kenteng. Dibentuk hingga kembali seperti aslinya. Setelah itu barulah masuk ke pengecatan. “Las dan kenteng paling cepat tiga bulan. Kemudian pengecatan per bagian juga membutuhkan waktu cukup lama,” papar Wawan.
Sementara dicat, mesin pun dirakit. Dikembalikan sampai berfungsi normal. Penyesuaian biasanya dilakukan di radiator. Yakni, menambah kipas agar mesin mobil tidak cepat panas. “Karena sekarang jalanan penuh, maka dibutuhkan ekstra kipas agar mesin tetap dingin. Selain itu, untuk rem juga diganti. Tidak tromol lagi,” katanya.
Setiap restorasi, memang membutuhkan biaya yang cukup besar. Satu unit mobil bisa mencapai Rp 300-an juta. Sementara harga beli bahan juga cukup mahal. Bisa mencapai Rp 100 juta-Rp 200 juta. Yang mahal biasanya adalah mobil Amerika, muscle car dan pikap.
“Saya mendapat Dogde pikap ini di Ambarawa. Saya menukar dengan Daihatsu Luxio baru seharga Rp 195 jutaan,” kenangnya sambil tertawa.
Mesin mobil antik memang rata-rata memiliki kapasitas besar. Kisaran 3000-4000 cc. Konsumsi bahan bakarnya kisaran 6-7 kilometer per liter. Namun BBM yang cocok adalah premium. Karena jika Pertamax akan lebih cepat panas dimesinnya yang sudah berumur.
Dalam mengoleksi, Wawan memilih mobil keluaran 1920 – 1940. Namun yang paling disukai adalah tahun 1940-an. Karena tahun tersebut, tren mobil berbentuk oval dan banyak lekukan. Sehingga akan susah untuk ditiru atau dibuat replikanya.
Di sedan Dogde kesayangannya, semua piranti masih bisa digunakan. Mulai lampu sein yang masih seperti papan naik turun. Saat ditekan lampu sein, maka tanda seukuran penggaris 30-an cm akan keluar dari kotak di bagian depan mobil dan menyala.
Sementara jika akan mundur di malam hari, lampu yang berada di atas spion kanan akan menyala. Lampu sorot mengarah ke belakang. Menyinggung soal harga, khusus mobil antik memang tidak ada patokan. Semua berdasarkan kesenangan dan kebutuhan.
Wawan pernah memiliki mobil Ford 1946 yang dibeli ayahnya dengan harga Rp 75 ribu pada 1979. Belum lama ini, mobil dilepas dengan harga Rp 1 miliar.
“Karena sudah berumur tua, maka pajaknya pun tidak mahal. Mobil Ford 1948 Coupe ini pajaknya hanya Rp 50 ribu. Padahal dulu pernah ditawar sampai Rp 2 miliar,” tuturnya.
Namun yang antik lainnya memang ada yang pajaknya Rp 300 ribu. Itu karena ia terkena pajak progresif. “Ini kepemilikan mobil ke-22,” imbuhnya.
Merawat mobil antik memang tidak sulit. Jika semua sudah normal, yang penting adalah selalu memanaskan mesin. Serta menjaga agar kabel dan onderdil tidak dimakan tikus. “Tiga mobil ini sudah pernah saya bawa ke puncak, Jakarta, sampai ke Lombok,” kenangnya. (*/aro)