RADARSEMARANG.COM, Sambal sudah menjadi menu wajib saat makan bagi sebagian masyarakat Indonesia. Tak heran, jika bisnis sambal selalu menjanjikan. Itu pula yang ditekuni Sulistyarini. Ia sukses berbisnis sambal khas Semarang dengan nama “Sambal Tok.” Bahkan produknya sudah merambah hingga luar negeri.
IDA FADILAH, Radar Semarang
SEBELUM menjadi pengusaha sambal, Sulistyarini adalah kepala perawat di Kings of Medical Riyad, Arab Saudi sejak 2009. Namun pada 2015 ia memutuskan resign dan fokus merawat ketiga anaknya. Terbiasa bekerja menjadikannya tidak bisa berdiam diri menjadi ibu rumah tangga dan hanya merawat anak saja. Setelah mengikuti pelatihan-pelatihan UMKM, tercetulslah ide untuk membuat suatu produk. Akhirnya ia membuat inovasi sambal kemasan.
“Karena terbiasa kerja, saya pengin bikin kreasi. Akhirnya, bikin sambal kemasan praktis untuk ibu-ibu yang tidak mau repot nguleg dan masak,” ujarnya kepada RADARSEMARANG.COM.
Mulanya pada Februari 2016, ia hanya menjual sambal ke tetangga. Banyak yang tertarik akhirnya semakin berkembang. Melalui berbagai proses, produk ini memiliki perizinan Produk Industri Rumah Tangga (PIRT). Dengan izin itu, ia berani memasukkan produknya ke berbagai toko oleh-oleh di Kota Semarang. Seperti Toko Oleh-Oleh Bandeng Juwana, Wingko Babat Pak Moel, Istana Brilian, Toko 52 Madukoro, Lunpia Cik Meme, Roru Cake dan berbagai toko oleh-oleh lainnya. Bahkan kini sudah dipasarkan ke berbagai supermarket, seperti Ada Swalayan, Transmart, dan Aneka Jaya.
Sambal Tok sudah mengikuti berbagai pameran UMKM baik tingkat lokal, nasional maupun internasional. Bahkan beberapa waktu lalu, saat ia tergabung dalam Market Place Eximbank, ia mendapat pesanan dari buyer asal Inggris.
“Alhamdulillah sudah sampai di luaran sana sambal ini. Menurut mereka sambalnya pas, karena rasa sambal yang kualitas ekspor disesuaikan dengan negara yang ada. Seperti di Amerika dan Brazil pedasnya sedang,” katanya.
Sambal kemasan ini mampu bertahan hingga enam bulan, sedangkan untuk ekspor bisa bertahan dua tahun. Menurut warga Jalan Bukit Anyelir 4, Sendangmulyo, Tembalang ini, lamanya proses memasak dan pemilihan bahan yang sesuai dengan anjuran Dinas Kesehatan menjadikan sambal ini awet. Bahkan komposisi yang digunakan sudah memenuhi standar nutrition facts. “Sudah bebas formalin seperti makan cumi dan ada terasinya nggak usah khawatir,” tandasnya.
Uniknya, nama produk yang diberi nama “Sambal Tok” ini berasal dari nama sang suami. Dalam Bahasa Jawa, tok memiliki arti hanya, “Tapi sebetulnya nama suami saya Pak Totok, biar mudah saya beri nama itu. Dari sisi Jawanya keluar. Namanya juga sudah saya patenkan, jadi nggak bisa diduplikat,” katanya.
Produk binaan Dinas Koperasi dan UMKM Kota Semarang ini memiliki tiga varian rasa. Yakni, sambal cumi, sambal bawang merah dan sambal bajak. Di setiap toko oleh-oleh yang dititipi, produk ini menghasilkan omzet Rp 5 juta-Rp 6 juta dalam kurun waktu tiga minggu. Padahal produknya sudah di belasan toko oleh-oleh dan supermarket. Dalam satu bulan, ia membuat 10 ribu botol sambal. Satu botol dibandrol dengan harga Rp 20 ribu hingga Rp 30 ribu. Sedangkan untuk ekspor dijual USD 2,2 atau setara Rp 32 ribu.
Wali Kota Semarang Hendrar Prihadi yang sejak awal sudah mendukung dan mempercayai produk ini. Kata Sulistyarini, ia selalu menanyakan kekurangan apa yang harus dibantu, legalitas apa yang belum. Sehingga Pemkot Semarang selalu membantu.
“Ke depan, setelah PIRT habis akan menggunakan izin Makanan Dalam (MD) dari BPOM supaya marketnya lebih luas. Kami juga akan menambah varian,” ujarnya. (*/aro)