25.1 C
Semarang
Saturday, 21 June 2025

Dikelilingi Alam yang Indah, Diminati Turis Mancanegara

Mengunjungi Candi Selogriyo Magelang yang Selesai Dipugar

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Candi Selogriyo di Kabupaten Magelang menyimpan pesona luar biasa. Apalagi ditambah keindahan alam sekitar. Candi ini diapit dua bukit yang indah, Bukit Giyanti dan Bukit Condong. Seperti apa?

AGUS HADIANTO, Magelang, RADARSEMARANG.COM

LETAKNYA memang cukup tersembunyi dan berada di ketinggian 600 mdpl di dua bukit. Namun siapa sangka, Candi Selogriyo yang terletak di Dusun Campurejo, Desa Kembangkuning, Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, mampu menyihir kehadiran ribuan turis mancanegara. Bahkan sejak ditetapkan untuk dipugar pada 2018, ribuan turis mancanegara pun tetap mengunjunginya.

Untuk menuju lokasi Candi Selogriyo memang butuh perjuangan ekstra. Saat tiba di gerbang loket pintu masuk, terpampang jalan berpaving selebar satu meter. Tiket masuk menuju Candi Selogriyo terbilang cukup murah. Untuk wisatawan lokal, hanya Rp 7 ribu per orang. Sedang turis mancanegara Rp 25 ribu sudah termasuk asuransi. Jarak loket ke candi sekitar 1,5 km. Jika naik sepeda motor, memerlukan waktu 13 menit. Sedang jalan kaki, memakan waktu 25 menit. Turis mancanegara banyak yang memilih berjalan kaki sembari menikmati keindahan lahan sawah terasering. Memang Desa Kembangkuning dikenal juga Ubud-nya Kabupaten Magelang.

Selepas menempuh jalan 1,5 km, maka akan sampai di gerbang masuk pintu candi. Total ada 164 tangga yang memerlukan tenaga ekstra menaikinya. Bagi yang terbiasa berolahraga, cukup memakan waktu kurang dari 10 menit menaikinya. Untuk orang biasa, mungkin membutuhkan waktu 20-30 menit untuk sampai di halaman candi.

Gimana Mas? Capek tidak sampai kesini?” tanya Juru Pelihara Candi Selogriyo Joko Edi Mulyono sambil tersenyum kepada RADARSEMARANG.COM.

Edi kemudian bercerita bahwa lokasi Candi Selogriyo yang terletak di ketinggian justru sangat disenangi oleh para wisatawan mancanagera. Antara lain dari Amerika, Singapura, Jepang, Nepal, India, Malaysia, Belanda, dan Denmark. Bahkan para turis manca ini, menurut Edi, tetap menikmati Candi Selogriyo meski masih dalam masa pemugaran.

Edi memaparkan, Candi Selogriyo dipugar pertama pada 1955 hingga 1957. Pada Desember 1998, menurutnya, pernah longsor merobohkan bangunan candi sampai 80 persen, dan menyisakan sisi barat yang berdiri sekitar 20 persen.

“Terus pada tahun 2000 sampai 2002 disusun percobaan selama dua tahun di bawah. Setelah dilakukan pengerukan sini, pada tahun 2003 sampai 2005 dikembalikan ke tempat semula. Terus pertengahan 2014 pernah disabuk karena situs miring sampai direhab dan dipugar 2018 yang tahap pertama. Pemugaran total sampai pemasangan ulang 20 persen dan dilanjutkan tahun 2019 sampai selesai tanggal 10 November lalu. Meski dipugar sejak tahun 2018 lalu dan selesai 10 November 2019, para turis tetap senang kesini. Terutama pada bulan Juli-September, dalam sebulan sampai ratusan turis,” ungkapnya.

Edi mengatakan, Candi Selogriyo dipugar untuk kesekian kalinya. Sedang pemugaran pada 2018, kata Edi, disebabkan kondisi pada tumpuhan dasar tanah labil, sehingga terjadi kemiringan pada posisi candi yang tidak berdiri tegak. Beberapa batuan candi, menurut Edi, terpaksa harus diganti dari batuan Muntilan dikarenakan batu asli sudah rusak dan patah.

“Namun 90 persen batuan candi masih asli seperti semula. Hanya beberapa saja yang diganti,” tuturnya.

Dikatakan, Candi Selogriyo diyakini berdiri sezaman dengan Candi Gedong Songo dan Candi Dieng pada abad ke-8, dan termasuk candi tua. Untuk ketinggian candi, menurutnya, dari bawah struktur candi hingga puncak mencapai 9 meter. Sedang luas tanah situs candi 2.582 m2.

Dijelaskan, Candi Selogriyo berdasarkan peneliti dari Belanda, Van Erp, ditemukan kali pertama oleh Residen Hartman pada 1853. Saat ditemukan, Candi Selogriyo tertutup semak dan pepohonan.

“Saat ditemukan, awalnya dikira goa yang berisi kelelawar. Terlebih saat itu candi juga tertutup material tanah, pepohonan dan semak. Setelah dibuka, baru terlihat sebuah candi,” ujarnya.

Saat disinggung mengenai banyaknya coretan berupa goresan di bebatuan candi, Edi menyebut bahwa itu merupakan aksi vandalisme yang dilakukan masyarakat, terutama pelajar. Coretan tersebut, menurut Edi, sudah ada sejak dulu jauh sebelum orangtuanya menjadi juru pelihara.

“Itu lihat saja Mas, ada yang bertuliskan UGM MGL berangka tahun 68, ada yang bertuliskan SD Kramat II MGL berangka tahun 60. Ya rata-rata tahun 60-90-an saat candi belum dijaga. Cukup miris karena yang melakukan orang yang terpelajar. Sepertinya saat mencoret, menggunakan logam keras, seperti pasak pramuka gitu sehingga menjadi pahatan,” keluhnya.

Edi mengungkapkan, Candi Selogriyo yang menghadap ke timur, memiliki arca di setiap sisinya dengan kondisi yang tidak lagi utuh. Untuk sisi timur atau pintu masuk candi, kata Edi, terdapat dua arca, yakni Nadiswara dan Mahakala sebagai penjelmaan raksasa dari Dewa Brahmana Wisnu dan Dewa Siwa. Sisi barat, berupa arca Ganesha. Sisi selatan ada arca Agastya, dan sisi utara arca Durga Mahesasuradhini.

“Memang saat ditemukan sudah tidak utuh. Selain empat sisi tersebut, ada satu arca yang berada di luar dengan perkiraan merupakan arca Brahmana Wisnu. Entah ini semula berada di dalam candi atau tidak, belum ada data pasti. Biasanya candi corak Hindu, jika di dalam candi bisa ada arca atau lingga yoni,” bebernya.

Sekretaris Pengelola Candi Selogriyo Miftahudin menyebutkan, Candi Selogriyo merupakan wisata dengan karakter alam, dengan karakteristik tanah terasering. Selain diapit oleh dua bukit, yakni Bukit Giyanti dan Bukit Condong, menurut Miftahudin, Candi Selogriyo juga dikelilingi sendang atau air yang tidak pernah kering.

“Dari nama aslinya, selo griyo berarti selo = batu dan griyo = rumah. Kalau melihat karakteristiknya, merupakan candi putri. Sejarah penemuan candi sendiri, ada warga yang menemukan pas cari rumput. Kemudian sabitnya membentur batu. Setelah dibuka, ternyata sebuah candi,” imbuhnya.

Miftahudin membenarkan wisatawan mancanegara banyak mendatangi Candi Selogriyo, terutama pada bulan Juli-September. Pada 2019 ini saja, menurut Miftahudin, bulan Juli ada 272 turis mancanegara dan 453 turis lokal. Bulan Agustus 228 wisatawan mancangera dan 224 wisatawan lokal. Sedang September 144 wisatawan mancanegara dan 290 wisatawan lokal.

Miftahudin menyebut bahwa turis asal mancanegara lebih memilih berjalan kaki menyusuri keindahan sawah terasering menuju Candi Selogriyo.

“Jadi memang, untuk turis mancanegara kami ajak melewati sawah, bukan jalan paving yang biasa dilewati. Turis malah suka. Misalnya, diajak lewat jalan paving, mereka memilih menyisir sawah meski dengan jarak tempuh cukup jauh,” tandasnya.

Miftahudin bercerita, selain menyimpan keindahan alamnya, Candi Selogriyo pun menyimpan kisah misteri. Kisah mistis dan menjadi misteri, menurut Miftahudin, tidak hanya sekali namun sering terjadi.

Ya banyak cerita mistisnya. Pernah ada sekelompok anak muda yang berkemah di lokasi sekitar candi, mereka diganggu dan dibuat tidak nyaman. Juga ada turis asal Jakarta yang datang sore hari, dan memetik bunga dan dedaunan di sekitar candi. Setelah pulang ke Jakarta, ternyata tidak bisa menggerakkan badan selama tiga hari. Akhirnya pun saya sarankan untuk kembali kesini sambil membawa beberapa bunga dan meminta maaf di candi. Setelah datang kesini, dan melakukan itu, langsung bisa jalan lagi,” ceritanya. (*/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya