RADARSEMARANG.COM, Pengalaman selalu menjadi guru terbaik dalam kehidupan. Tak terkecuali pengalaman perdana mahasiswa/mahasiswi kedokteran saat kali pertama melakukan bedah mayat. Seperti apa?
MENJADI mahasiswa kedokteran, didambakan banyak orang. Tapi bukan perkara mudah menjalaninya. Apalagi ketika mendapati mata kuliah yang mengharuskan melakukan bedah mayat, tekad saja tak lantas menghilangkan rasa takut. Seperti yang dialami oleh Rizka Hidya Tiffani saat kali pertama melakukan bedah mayat pada Desember 2018 lalu. “Kejadiannya kala itu, kami diminta melakukan otopsi. Rasanya deg-degan baget,” ujarnya penuh rasa takut.
Dara yang akrab disapa Rizka ini mengaku yang membuatnya ketakutan adalah warna mayat yang sudah pucat hingga kondisi yang berdarah-darah dan keadaan yang tidak wajar lainnya. “Serem banget waktu kali pertama melihat kondisi mayat ditaruh di meja untuk dibedah,” tuturnya.
Tak hanya rasa takut, Rizka juga sempat merasa terganggu dengan aroma tidak sedap yang tercium dari mayat tersebut. “Itu benar-benar bau dan sampai ada yang tidak kuat. Sampai dikasih parfum, pewangi, dan beragam penghilang bau,” ungkapnya.
Tak hanya itu, dia bahkan pernah mengalami kejadian aneh ketika merasa seperti terjebak dalam rute perjalanan pulang setelah melakukan bedah mayat di area makam. Pihaknya mengaku seperti berputar-putar di jalan dengan arah yang sama.
“Rutenya itu dekat. Sewaktu berangkat itu lancar dan baik-baik saja. Tapi anehnya, waktu pulang seperti muter-muter. Padahal di Google Maps jalannya sudah benar,” tambahnya.
Sebagai orang yang akan berkecimpung dalam dunia medis, pihaknya mengaku harus tetap profesional menghadapi seluruh proses tersebut. Namun ketika harus mengatasi rasa takut, kebersamaan menjadi kunci. “Bahkan waktu pertama kali bedah, kami harus tidur bareng-bareng karena masih terbayang terus,” ucapnya.
Dari situ, dirinya merasa bahwa perjuangan demi menyandang status dokter memang tidak mudah. Sama halnya dengan Rizka, Septiani Ratna Hapsari memiliki pengalaman bedah mayat pertama yang tidak akan pernah ia lupakan seumur hidup.
Mahasiswi kedokteran Unissula angkatan 2014 ini membagikan pengalaman ekshumasi – pembongkaran kuburan oleh pihak berwenang untuk diperiksa secara ilmu kedokteran forensik – di Ponorogo, Jawa Timur. Hal tersebut dilakukan karena tempat kejadian perkara (TKP) berlokasi di Wonogiri, Jawa Tengah.
“Jadi itu masih masuk wilayahnya Polda Jateng dan dari RS Bhayangkara dapat surat untuk bedah kubur,” ujarnya yang kala itu koas forensik di RS milik kepolisian tersebut.
Setelah mendapatkan surat tugas, Septi mengungkapkan kekhawatirannya untuk melakukan bedah kubur. “Ya ini kan beda gitu dengan otopsi. Ini kondisi mayat sudah dikubur selama satu bulan. Pasti kondisinya sudah tidak utuh lagi,” ungkapnya.
Dengan perasaan gusar dan takut, ia tetap menerima tugas dan menuju Ponorogo naik travel. Sesampainya di sana, ia harus menunggu rombongan, dokpol dan dokter forensik untuk memulai proses ekhumasi.
Ia menjelaskan bahwa ada beberapa tahap yang harus dilakukan. Pertama, makam harus difoto terlebih dahulu. Lalu digali sedikit demi sedikit untuk diobservasi apa yang terlihat. Baru yang terakhir pengangkatan mayat dari kubur untuk diperiksa. “Awalnya digali 10 sentimeter, kemudian digali terus sampai terlihat papannya,” jelasnya.
Ia juga mengungkapkan, bahkan sebelum mayat diangkat dan dikeluarkan dari kubur, bau menyengat sudah tercium. “Jadi, kami selalu siap sedia parfum dan minyak kayu putih untuk dituangkan ke masker yang kita pakai. Ini untuk memfilter bau, ceritanya gitu. Tapi tidak mempan sama sekali. Dan kami baru bisa memakai masker itu setelah dokter forensik memakai maskernya,” lanjutnya.
Meski demikian, ia tetap bertahan karena rasa tanggung jawab yang ia rasakan. “Sebenarnya boleh mundur bila tidak kuat. Tapi kalau habis mundur lalu balik lagi, baunya akan semakin menyengat. Jadi saya tetap di situ dari awal hingga akhir,” tambahnya.
Setelah ekshumasi pertamanya usai, ia beserta rekan-rekan tidak berani tidur sendirian. “Semua tidur di satu ruangan. Kebayang prosesnya bagaimana. Apalagi itu korbannya perempuan, masih belum menikah, dan ada indikasi pembunuhan pula. Tapi alhamdulillah, saya sendiri tidak mengalami kejadian aneh-aneh,” ungkapnya.
Berbeda dengan kedua kawannya, menurut Lydia Hapsari pengalaman dalam bedah mayat sangat menyenangkan dan mengasyikan untuk dijalani. Dalam hal otopsi, ia belajar banyak dengan melihat tanda-tanda kematian. Walaupun pertama kali rasa ketakutan ia dapatkan, Lydia menganggap pengalaman dan pembelajaran lebih penting. “Iya pertamanya ngeri. Tapi semakin kesini, asyik sih. Ya, karena ini belajar ya jalani saja,” ujarnya.
Salah satu hal menarik baginya adalah dapat mengetahui penyebab kematian. Ia pernah mendapat mayat seorang bayi yang telah diaborsi oleh seorang ibu. Dari pengalamannya, ia selalu sensitif dengan bau tidak sedap. Bahkan, setelah otopsi kadang bau itu masih terbayang. “Sebenarnya asyik, tapi di sisi lain, baunya itu. Bahkan sampai sekarang masih kebawa,” pungkasnya. (mg5/mg7/ mg8/ida)