32 C
Semarang
Sunday, 4 May 2025

Pernah Tampil di depan Presiden, Jadi Duta Seni ke Luar Negeri

Yoyok Bambang Priyambodo, Pendiri Sanggar Tari Greget Semarang

Artikel Lain

 Warga Semarang memang patut memiliki kebanggaan terhadap seni tari. Apalagi dengan adanya sosok penari yang memiliki kiprah mendunia, Yoyok Bambang Priyambodo.

 JOKO SUSANTO. RADARSEMARANG.COM

 YOYOK Bambang Priyambodo adalah pendiri sekaligus pemilik Sanggar Tari Greget di Jalan Pamularsih I Nomor 2 Bongsari, Bojongsalaman, Semarang Barat, Kota Semarang.  Melihat pertunjukan tari tentunya memiliki makna dan keindahan. Apalagi anggunnya seorang penari dalam menampilkan sebuah tarian hingga menimbulkan decak kagum penonton. Manisnya senyuman seolah tidak ada suatu hal apapun yang dapat membuat seorang penari merasa sedih.  Juga lentik lenggokan dan lambai tangan. Halusnya gerakan kepala ke kanan dan ke kiri. Semua selaras dengan alunan musik. Seorang penari mampu menyelaraskan wiraga, wirama dan wirasa dalam satu harmonisasi. Namun kepiawaian dalam menari tersebut tentunya memiliki penghormatan yang sangat luar biasa, apalagi ditampilkan di hadapan kepala 000negara dan duta besar.

Demikianlah yang dialami Yoyok. Bapak tiga anak kelahiran Semarang 25 April 1966 ini berhasil menyuguhkan seni tari di hadapan sejumlah duta besar dan Presiden RI ke dua, Soeharto dan Presiden RI aktif, Joko Widodo. Ia masih ingat betul awal tampil di hadapan Presiden Soeharto, pada acara peringatan hari anak nasional yang dipusatkan di Istana Negara pada 1979.

Selanjutnya, acara perayaan Hari Ulang Tahun Republik Inonesia di Istana Negara sekaligus acara serimonial kenegaraan dihadiri Presiden Joko Widodo, disaksikan duta besar dari berbagai negara baik duta besar RI maupun negara sahabat. Ia juga sering menjadi narasumber maupun menyuguhkan tarian saat kunjungan ke luar negeri maupun dalam negeri, seperti saat acara paket khusus Anjungan Jateng Taman Mini Indonesia Indah yang dihadiri 20 lebih dari duta besar negara negara sahabat.

“Jenis tarian paling sering disuguhkan seperti gambyong, dan karya-karya saya seperti tari denok deblong, batik, lurik, sekar rinonce, topeng, angsa , kepodang, kuntul dan banyak lagi. Pada intinya tidak ada tari yang paling mudah, semua sama sulitnya, hanya saja tingkatan bobot bentuk atau jenus tarianya saja yang membedakan,”kata Yoyok Bambang Priyambodo kepada RADARSEMARANG.COM, Senin (30/9).

Di balik kesuksesannya itu, ia juga mengaku tak bisa lepas dari adanya Sanggar Tari Greget yang dikelolanya. Diceritakannya, muncul nama Greget merupakan bagian dari melanjutkan bekal yang telah diberikan oleh kedua orang tuanya, Soedibyo, pada 1972 bernama Sanggar Kusuma Budaya. Kemudian sanggar tersebut pada 1982 terjadi regenerasi antara dirinya, kakaknya dan keluarga bernama Geget Wilang. Kemudian karena sudah pada menikah dan pindah kota pada 1992, ia memutuskan diri mendirikan Sanggar Greget.

Visi dan misi yang dibangun di sanggar tersebut juga tak jauh dari pelestarian budaya. Di antaranya visinya menggali, melestarikan, mengembangkan seni budaya tradisi agar tidak punah. Untuk misinya, memberikan wadah pada generasi muda dan anak-anak  sebagai tonggak estafeta negara dan bangsa In sebagai karya nyata dalam mencintai tanah air melalui seni budaya serta mewujukan persatuan dan kesatuan lewat gotong royong untuk saling menmghargai dan membantu.

“Kalau terkait seni tari untuk latihan sekadar hapal 10 kali pertemuan sudah bisa. Tapi untuk kualitas kategori bisa sekedar menari sekitar 30 hingga 50 kali pertemuan sudah lumayan, itu dengan durasi pertemuan minimal 2 jam. Kalau di menjadi narasumber biasanya saya mengajar seni tari, rias dan karawitan,”jelasnya.

Dalam kancah seni tari, nama Yoyok kiprahnya memang tak diragukan lagi. Tercatat berbagai prestasi pernah diraihnya. Mulai terbaik I dalam Festival Walisongo Surabaya komposisi Warak Dugder, terbaik I dalam festival budaya khatam Alquran III tingkat nasional pada 1999. Selanjutnya, duta seni ke Swiss, Jepang, Inggris, Suriname, Belanda, Spanyol, Singapura, dan Australia.

Untuk pandai menari, ia juga memberikan tips khusus. Yakni dalam diri seorang penari, percaya diri yang tinggi adalah hal wajib dimiliki. Termasuk olahraga agar badan menjadi sehat. Tak dipungkiri Yoyok, darah tari mengalir dari kedua orangtuanya. Sejak kecil ia sudah dilatih secara khusus dengan mengundang guru tari terkenal pada masa itu. Maridi, S Pamardi dari Solo, Sawitri dari Cirebon dan Sunarno Skar.

”Ketika duduk di bangku SD, saya sudah ikut Porseni. Karena menang, dikirim oleh sekolah sebagai duta seni. Dalam tari tidak hanya sekedar gerak, tetapi juga harus mengerti musik, berteater, gamelan dan tata rias wajah,”kenangnya.

Undangan untuk mengajar tari secara privat hingga tampil dalam acara-acara pun tidak pernah berhenti sampai kini. Untuk sekali tampil, awalnya Yoyok mematok Rp 2,5 juta. Kini untuk tampil menari, ia mematok mulai Rp 10 juta hingga Rp 15 juta.

”Tari yang kita jalani secara profesional, serius dan disiplin bisa mencukupi hidup. Hidup untuk menari dan menari untuk hidup,”sebutnya.

Yoyok juga miris melihat gedung kesenian yang ada di Kota Semarang selama ini beralih fungsi dan lebih banyak menjadi tempat untuk menggelar pernikahan. Sehingga, ketika kegiatan khusus untuk seni, tergeser dan tidak memiliki ruang yang tepat. Pemerintah pun diharapkan Yoyok untuk membuat aturan agar memberikan prosentase tayangan seni.

”Termasuk seni jalanan yang ada di perempatan lampu merah seharusnya mendapat perhatian pemerintah. Jadi seninya terlihat menjadi murahan. Padahal mereka itu hanya sekedar menabuh dan berlenggak-lenggok, kalau mereka dilatih, dan diberi tempat, tentu akan menaikkelaskan seni tari itu sendiri,” harapnya.

Turut sertanya berkecimpung di dunia seni, Yoyok berharap, kesenian tradisi mampu untuk tetap menjadi raja di negeri sendiri dan dihargai oleh masyarakat, pemerintah, dikagumi serta digandrungi oleh negara lain. Ia menyarankan, untuk mempertahankan seni, pemerintah perlu mengajak duduk bersama antara Seniman, Budayawan, Media, Dinas Pendidikan Kebudayaan Pariwisata dan sebagainya yang khusus membidangi seni agar bisa bersama-sama mengembal0ikan jati diri bangsa yang telah luntur, rapuh tergores, oleh ketamakan oknum, melalui seni budaya sebagai soko guru.

“Bagaimanapun didalam seni budaya memuat segala perilaku dan budi pekerti yang adi luhung dan penuh ajaran hidup untuk kebaikan dan kebahagiaan,”pesannya.

Kemudian ia menyarankan, kurikulum pendidikan untuk mata pelajaran di sekolah secara berjenjang mulai SD-SMP dan SMA. Stasiun TV juga perlu di wajibkan menayangkan seni budaya daerah agar tidak selalu di dominasi musik tertentu dengan propaganda yang kurang baik bagi pembelajaran edukasi.

“Apalagi sinetron yang kurang pas untuk anak-anak masa sekarang,”ujarnya. (*/aro)


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya