Siapa sangka tanaman pakis yang sepertinya tidak bermanfaat, justru bernilai ekspor. Beberapa negara seperti Australia, Singapura dan Jepang secara rutin mengimpor pakis dari Jawa Tengah.
SIGIT ANDRIANTO, RADARSEMARANG.COM
SAPTO Hadi sudah mulai menanam pakis sejak 1999. Saat itu, ia melihat Jepang secara rutin mengimpor pakis dari Amerika Tengah. Jumlahnya pun bisa sampai puluhan juta dalam setahun. Melihat hal ini, ia berpikir, kenapa tidak dari Indonesia saja dengan potensi yang dimiliki. ”Kemudian saya mencoba menanam di sini untuk dikirim ke sana,” ujar eksportir pakis asal Jawa Tengah ini.
Di tahun 2001 ia mulai bisa mengirim pakisnya ke luar negeri. Berangsur-angsur, sepuluh tahun terakhir ini ia bisa mengirim setiap Minggu ke Jepang, Singapura dan Australia.
”Satu tangkainya itu Rp 2000. Kalau satu kontainer bisa sampai 17-19 USD atau kalau dirupiahkan bisa sampai Rp 300 jutaan,” ujarnya saat ditemui RADARSEMARANG.COM.
Gampang-gampang susah untuk membudidayakan tanaman ini. Kondisi alam dinilai Sapto sebagai salah satu tantangan untuk membudidayakan tanaman yang biasa ditemui di pinggiran sungai ini.
”Seperti saat kemarau itu sebenarnya bagus, tapi kadang juga kurang air. Kemudian ketika ada angin. Itu sangat mengganggu,” katanya.
Belum lagi, ia tambahkan, ketika musim hujan. Akan banyak wabah penyakit yang menyerang tanaman ini. Apalagi ketika hujan lebat. ”Waktu awal kita budidayakan tahun 1999 belum banyak penyakit. Lama-lama karena tanaman banyak dan cuacanya berubah-ubah, muncul banyak penyakit,” ujarnya.
Saat ini, ia membudidayakan pakis di lahan seluas 40 hektare. Yakni, di lereng Gunung Sumbing, Kabupaten Magelang dan sebagian di Kabupaten Wonosobo. Pernah, ketika gunung merapi erupsi, lahannya terdampak dan ia harus menyelamatkan 3 hektare pakis miliknya.
”Itu yang sampai sekarang teringat. Saat itu tahun 2010. Karena ada lahan di sana juga,” ujar pria yang mampu mempekerjakan 450-an orang karyawan untuk ekspor pakis ini.
”Mau nggak mau kena pasir. Mati semua,” imbuhnya. (*/aro)