RADARSEMARANG.COM – Skena musik underground di Kota Semarang memang tidak ada matinya. Sejak awal 2000-an bibit-bibit band cadas pun mulai lahir di kota Lunpia ini. Salahsatunya Mongoloid Grind.
Membawa nafas underground, band yang digawangi oleh Fikar Juhud (vocal), Ardha Lepha (gitar), dan Ilham 666 (drum) ingin terus meneriakkan keresahan kondisi sosial politik saat ini. Tentunya melalui barisan lirik yang mereka buat.“Sesuai dengan roots dari grind core sendiri memang liriknya mengangkat tema-tema sosial politik,” ujar Fikar.
Band ini sendiri terbentuk sejak 2008. Setidaknya dalam 10 tahun lebih sampai sekarang Mongoloid Grind selalu konsisten di jalur tersebut. Dikatakan Fikar, band ini muncul di mana muncul isu-isu politik kala itu.
Hampir bebarengan dengan momentum pesta demokrasi. Dari situlah band ini terbentuk.“Awalnya hanya iseng, ketika melihat televisi, internet, isinya soal politik saat itu yang memang ramai, mulai tergelitik membuat band yang musiknya kami juga suka,” tuturnya.
Lagu-lagu seperti “Dogma Purba”, “Killuminati”, dan “Tiada Tuhan Selain…….” tercipta setelah band ini muncul ke permukaan.
Bahkan lagu mereka juga ikut dalam kompilasi Unnes Metal Syndicate yang dirilis dalam bentuk kepingan CD. Persebaran rilisan pun juga terbilang terbatas.“Pokoknya indie banget model penyebaran karyanya,” ujarnya.
Seperti dirilis di beberapa distro underground Madness Semarang. “Meneriakkan keresahan kondisi sosial politik, memang pas jika melalui jenis musik tersebut,” tandasnya.
Seperti dalam lirik lagu Killuminati. Terkandung pesan moral, masyarakat jangan sampai terjebak ke dalam isu-isu Sara yang digaungkan oleh sebuah kelompok tertentu.“Tujuannya apalagi kalau tidak ingin merusak keutuhan NKRI,” katanya.
Menurutnya, bersuara tidak hanya harus terjun di jalan atau masuk ke ranah politik. Juga bisa dilakukan melalui lirik dan lagu.
Mereka kerap diundang untuk mengisi acara-acara atau gigs. Tentu saja tema gigs-nya yakni underground. Seperti di Temanggung yakni Sindoro Musik Festival, Semarang Total Hitam, Semarang Agresi, dan masih banyak lagi. Sampai saat ini pun mereka belum mau merilis karya melalui platform digital.
“Ya karena belum mau saja. Kalau semisal ada yang sudah punya karya kami terus mau disebarkan free di internet juga silahkan,” katanya.
Selain melalui musik, ternyata personel band ini juga aktif dalam artwork. Ardha Lepa. Sejumlah artwok karyanya bahkan sudah merambah ke pasar internasional.“Eksisnya (artwork) hampir bebarengan dengan terbentunya Mongoloid,” tutur Ardha. Tema yang diangkat juga masih seputar isu sosial politik di setiap karyanya.
Ia juga mengakui jika jenis musiknya segmented. Tidak semua kalangan bisa menikmati. Namun mereka tidak terlalu merisaukan hal itu.“Yang jelas kami ya bisanya seperti ini ya kami maksimalkan, khususnya untuk tetap bisa speak up,” timpal Fikar. (ewb/zal)