RADARSEMARANG.COM – Sejarah terbentuknya Jodhokemil, kelompok musik kontemporer asal Magelang yang mengusung aliran eksploratif dengan sentuhan entik tidak bisa lepas dari acara nonprofit Keboen Kreatif di tahun 2008. Di sinilah kelompok musik keroncong Omah Tumpuk saling bertemu dengan seniman perkusi dari Komunitas Sepeda Onthel Magelang (VOC) yang juga penggagas sekaligus pengisi acara. Dalam kesempatan itulah mereka pertama kali bekerja sama untuk membuat satu repertoar pertunjukan perkusi.
“Sejak saat itu, musisi dari dua komunitas tersebut intensif berproses bersama untuk mengolah lebih lanjut potensi bermusik mereka dengan memanfaatkan alat musik yang tersedia,” kata Dhona.
Hasil eksplorasi musiknyapun sempat dipertunjukkan dalam berbagai acara, di Magelang dan Jogjakarta. Meski waktu itu, belum ada bentukan kelompok khusus dengan personel tetap. Tongsengsae, The Djagad Djembe, Wayang Infus, Wayang Sholawatan, merupakan beberapa dari sekian projek kolaborasi yang dihasilkan.
Dalam acara tahunan yang melibatkan dua komunitas ini, yaitu Magelang Tempo Doeloe juga selalu dihadirkan sesi pertunjukan kolaborasi dari keduanya. Lalu untuk mengiringi art performance seniman VOC yang menjadi prosesi khas acara tersebut. Kolaborasi ini berlangsung dari tahun 2009.
Hingga awal Agustus 2014, ketika datang undangan untuk tampil dalam sebuah perhelatan musik jazz di Jogja. Saat itu mereka mengonfirmasi undangan tersebut dengan mengirimkan nama kelompok Jodhokemil. Walau akhirnya pementasan musik tersebut gagal dilaksanakan.
“Sejak tercetus nama Jodhokemil itulah mereka mulai lebih intensif berproses dan mulai merumuskan satu bentuk kelompok musik yang pakem, dengan personel tetap,” jelas Dhona.
Awali Aktivitas Rebon
Awal pandemi, semua kegiatan bermusik terhenti. Kini mulai beraktivitas ngumpul-ngumpul di hari Rabu malam. Mereka menyebutnya “Rebon.”
Banyak hal yang dibahas dalam Rebon. Mengarang lagu, menggarap aransemen lagu Solawat Busyro, diskusi, bercanda sampai nglantur. Yang penting asyik, ketegangan mencair. Seperti itulah kehangatan keluarga Jodhokemil, berjumlah 12 orang. Mereka terus bermusik. Belajar tanpa ragu.
Vokalis Jodhokemil, Sigit Sky Sufa pandemi Covid-19 juga memberikan pembelajaran pada dunia hiburan. Harus sigap menyesuaikan diri dalam situasi apapun. Hanya saja, Jodhokemil tidak terlalu meratapi gagal tampil karena pandemi. Menurutnya, para personel punya cara sendiri menikmati kondisi ini.
“Selama ini Jodhokemil berupaya menciptakan dunia hiburannya sendiri.
Hiburan yang paling menghibur adalah kreativitas,” kata Sigit.
Sigit memang rindu menabuh musik bersama. Apalagi secara kolektif,
setidaknya sudah 60-an lagu tercipta. Beberapa telah masuk ke dapur rekaman. Kebanyakan lagu-lagu mereka mengangkat cerita kehidupan dan spiritual. Mengadaptasi dari buku, salawat, berita koran, puisi dan lainnya. Seperti berjudul He Sang-sang, Sopotosopo, Merbabu, Sakjan-jane, Jago Kluruk, Patang Dino Patang Wengi, Rumangsamu, Mbelgedhes, Mbokya Sudah, Di Pagi Hari Ketika Siang Datang, Mencin-tai, dan lainnya.
Ada pula lima karya yang menggambarkan Jodhokemil berproses. Satu lagu wajib “Singgah-singgah” selalu ia bawakan saat pentas. Rasanya lagu-lagu itu ingin ia nyanyikan, karena sarat pesan.
“Setiap karya mengandung kediriannya masing-masing. Bahwa di dalamnya terdapat nilai yang hendak dibagikan dalam kemasan komposisi lirik dan lagu,” ujar pria yang juga komposer utama di Jodhokemil itu.
September lalu, Jodhokemil mulai pentas secara daring. Lagu berjudul Ada Suara tidak ketinggalan dibawakan, sebagai lagu pembuka sekaligus sarana final cek sound. Ini juga ia lakukan tiap kali manggung.
“Ada pesan yang dituju adalah ajakan ke dalam (pelantun, Red) dan keluar (pendengar, Red) tentang ada suara dalam hati yang selalu saja bersuara (dzikir, Red), tentang hati-hati bersuara. Masalah yang banyak ditimbulkan oleh suara dan sebagainya,” imbuhnya. Menurutnya, bermusik sebagai sarana srawung dan berkespresi. Alat musik adalah kendaraan.
“Syukur-syukur musik kami bisa bermakna dan bermanfaat. Membangun kesadaran dan sarana tumbuh-kembang bersama, bersosial.”
Dhona Shintaningrum, personel perempuan di Jodhokemil mengungkapkan pihaknya menekankan prinsip kejujuran dalam format pertunjukannya. Jujur dalam bermusik, juga jujur dalam mengekspresikan diri saat bermusik. Tidak ada tuntutan bagi personel Jodhokemil untuk tampil begini-begitu. Atau menunjukkan sisi feminisnya tiap kali tampil.
“Jadi saat tampil dalam Jodhokemil saya ya bisa tetap menjadi diri saya sendiri. Yang membedakan dengan keseharian saya mungkin hanya perannya saja.
Jika dalam keseharian peran saya sebagai pekerja di suatu manajemen seni dengan tidak meninggalkan aktifitas domestik di rumah. Maka dalam grup ini peran saya adalah sebagai player,” ucapnya.
Dari keterlibatannya dalam grup Jodhokemil, Dhona berharap ke depan bisa bermunculan musisi perempuan dengan karya-karya otentik. Baginya bukan proses yang instan. Namun diyakini bisa, asalkan konsisten dalam berkarya.
Sebagian besar personel Jodhokemil mengakui, jika lirik lagu dan cara bermusiknya sedikit nyleneh. Komposisi musik tersusun dari alat-alat musik yang ada, dan disukai oleh personelnya masing-masing. Tidak heran, nama Jodhokemil tidak asing di telinga para pelaku seni. Karena keunikannya, dikenal masyarakat umum. Sebagian besar personel Jodhokemil juga dari kalangan seniman, dan pegiat seni. (put/lis/bas)