RADARSEMARANG.COM – Baju khas Thionghoa yakni Cheongsam atau Qipow identik dengan warna merah keemasan. Namun desainer asal Semarang Aldion Soe Prijono mencoba menyuguhkan konsep berbeda. Ia mengusung tema Sanjita untuk merayakan Tahun Baru Imlek yang tinggal dua hari lagi.
Aldion menjelaskan, dalam acara pesta menerima lamaran dari calon pengantin atau sangjit selalu menggunakan etnik budaya. Tidak hanya di China, tradisi budaya ini juga muncul pada keluarga peranakan Tionghoa yang ada di Jawa. Biasanya, unsur dominan baju yang dipakai adalah warna merah keemasan. Warna ini menunjukkan unsur kebahagiaan dan kemuliaan.
Namun kali ini Aldion mengambil warna-warna netral, yakni warna putih sebagai unsur dominan. Ia menciptakan delapan outfit. Dalam busana ini, Aldion menggunakan batik Pekalongan dengan motif batik Buketan. Dipilihnya batik karena menjadi salah satu busana budaya lokal dan nasional. Ia ingin menggabungkan dua budaya ini.
Menurutnya, di sinilah akulturasi atau pencampuran budaya terbentuk dalam karya busana ini. Yakni, budaya Thionghoa sebagai bentuk busana, dan penggunaan batik yang merupakan busana nasional.
“Terinspirasi dari ini, maka karya Sanjita ini terbentuk,” kata Aldion kepada RADARSEMARANG.COM.
Tak hanya membawa budaya tersebut, dalam karya ini, gaun dengan potongan ball gown dan sackdress juga acapkali dipakai dalam gaun pengantin budaya barat. Sedangkan potongan untuk Cheongsam nampak jelas pada potongan siluet, serta kerah yang menjadi ciri khas utama pada busana-busana etnis China.
“Dan budaya asli lokal dari Indonesia diwakili dari motif busana batik buketan Pekalongan,” jelasnya.
Dalam karya ini, lanjutnya, potongan gaun dengan bentuk bawahan mermaid menunjukkan semakin anggun calon pengantin perempuan dalam siluet yang tegas.
Dari salah satu desain yang lain, terlihat potongan semi ball gown. Ada juga bawahan dan atasan kerah Cheongsam dengan lengan yang terbuka. Ia juga menyuguhkan unsur feminisme yang ditampilkan dalam salah satu karya dengan kerah Cheongsam berdiri, dan belahan cukup dalam. Juga sackdress dengan belahan rok di kanan kiri yang cukup tinggi. Bentuk ini menambah keindahan kaki yang bisa terlihat.
“Sehingga calon pengantin bisa terlihat lebih seksi dan dan siluetnya menjadi lebih ramping,” paparnya.
Untuk performa yang lebih ekstrem lagi, imbuh Aldion, pada salah satu karyanya ia ciptakan gaun menjuntai dengan pipa yang lebar. Serta atasan sepinggang dengan untaian benang-benang yang dijalin. Sehingga muncul suatu gerakan pada saat berjalan.
“Ada pula konsep gaun bawah a line dengan belahan selayaknya baju qipao. Secara kasat mata diinspirasi dari royal wedding ratu di kerajaan China,” terangnya.
Aldion memaparkan, karya yang dibuatnya ini ingin memberikan suatu gambaran pesan kepada kawula muda di Jawa Tengah pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya bahwa budaya batik bisa dikembangkan dalam suasana apapun.
Dalam hal ini, desainer memberikan wacana bahwa perayaan Sangjit tidak selalu harus menggunakan baju merah, tidak selalu mengidentifikasikan budaya China. “Tetapi coba untuk mencintai budaya lokal dengan membuat desain- desain busana bermuatan lokal seperti batik yang ternyata tidak kalah cantik,” ungkapnya. (ifa/aro)