RADARSEMARANG.COM – Rumah pribadinya selaras dengan aset bank yang dimilikinya: BPR Arto Moro. Ya, rumah berarsitektur klasik di ujung Jalan Semeru, Kota Semarang, itu adalah milik sang owner BPR Arto Moro, H. Dr Subyakto, SH, MH, MM.
Mengunjungi rumah Subyakto, kita serasa berada di rumah seorang warga Eropa. Arsitekturnya klasik. Pilar-pilar besar, bentuk lengkung di atas pintu, atap kubah, dan sebagainya, merupakan ciri arsitektur klasik. Belum lagi ornamen-ornamen ukiran yang rumit dan detail, menghiasi bangunan rumah seluas 1500 meter per segi itu. “Sebagian materialnya saya impor. Terutama keramiknya,” kata Subyakto saat ditemui jurnalis RADARSEMARANG.COM, Sabtu (18/12).
Subyakto sangat menyukai arsitektur klasik. Karena itu, ketika lawatan di Eropa, ia kerap memotret bangunan-bangunan di sana. Lantas, pada tahun 2000, ia realisasikan desain bangunan rumahnya dengan arsitektur klasik.
“Saya percayakan pada Ibu Ira, seorang arsitek kondang pada waktu itu untuk mendesain bangunan rumah seperti yang saya inginkan,” kata Subyakto yang saat ditemui sedang nge-gym di balkon rumahnya. Menurutnya, bangunan berarsitektur klasik adalah abadi. Tak akan lelang oleh waktu. Juga kemewahan yang berkelas.
Rumah berlantai tiga ini mengalami tiga kali tahapan pembangunan. Di bawah balkon belakang rumahnya, terdapat kolam renang. Tak jauh dari kolam renang, ada joglo klasik, dengan kubah besar khas bangunan Romawi. “Joglo ini saya gunakan untuk menemui tamu yang tidak begitu saya kenal,” kata pria yang pernah menjabat sebagai anggota DPRD Jateng periode 2004-2009 dan DPR RI 2009-2014 ini.
Luas tanah bangunan ini 2500 meter persegi. Garasi rumah mampu menampung puluhan mobil, mulai mobil berharga standar hingga miliaran rupiah. Di rumah ini, Subyakto hidup bersama keluarganya yang harmonis. Suasana adem, dengan kicauan burung melengkapi nyamannya bangunan bernuansa klasik ini.
Maklum, di area belakang rumah, beberapa merak dan aneka burung kicauan, dipelihara dengan baik oleh si empunya rumah. Tak lupa, di depan bangunan ada patung Dewi Keadilan. Semakin meneguhkan konsep bangunan Romawi, yang kebetulan si pemilik rumah pernah menjadi praktisi hukum—tepatnya lawyer—pada 1992 hingga 2004. (isk)