RADARSEMARANG.COM,Drama merupakan karya kreatif karena merupakan karya yang lahir dari kreativitas penulisnya. Menulis drama merupakan persoalan kreativitas yang lekat dengan kemampuan individu untuk memunculkan nilai baru terhadap hal-hal yang diciptakannya.
Menurut penulis, masih minimnya dukungan porsi waktu menjadikan pembelajaran menulis drama belum maksimal. Maka, fungsi sastra yang bersifat dulce et utile atau menyenangkan dan bermanfaat, belum banyak menyentuh ranah aspek menulis.
Pembelajaran menulis dianggap sulit dengan minimnya minat, teknik, dan strategi pembelajaran. Minimnya media atau stimulus seakan membuat siswa belajar dengan tangan kosong. Siswa juga belum dituntun secara konkret atau diajak ke dunia nyata untuk menulis drama. Alhasil, siswa kesulitan memperoleh ide serta menuliskannya dan kalau dipaksakan hasilnya menjadi karya drama yang “kering”.
Drama adalah bentuk karya sastra yang bertujuan menggambarkan kehidupan dengan menyampaikan pertikaian dan emosi melalui lakuan dan dialog. Lakuan dan dialog dalam drama tidak jauh beda dengan lakuan serta dialog yang terjadi dalam kehidupan sehari- hari (Kosasih, 2012:132).
Menulis itu menurut Keraf (2011:1) adalah keterampilan seseorang dalam menuangkan ide, pikiran, pengetahuan, fakta-fakta, perasaan dan pengalaman hidup yang ditulis dalam bahasa yang baik, jelas, dan mudah dipahami oleh pembaca.
Sedangkan menulis naskah drama adalah kegiatan menuangkan pikiran melalui tulisan dan menghasilkan sebuah cerita berdialog, alur, dan watak dengan bahasa yang kreatif.
Kusmawan (2011:35) menyatakan, “Menulis naskah drama merupakan proses kegiatan yang kreatif dan memerlukan pemikiran yang imajinatif supaya hasilnya sangat bermakna dan dapat melahirkan sebuah naskah drama yang berkualitas dan mampu diterima oleh pembaca dan penonton”.
Kenyataan yang ditemui penulis saat mengajarkan menulis drama di kelas VIII SMPN 1 Srumbung, siswa kurang berminat pada kegiatan menulis drama.
Terkadang mereka sulit untuk memilih pengalaman hidupnya atau pengalaman hidup orang di sekitarnya yang menarik untuk dituangkan dalam teks drama.
Bahkan para siswa tersebut sudah mengalalami kesulitan mulai dari menentukan tema yang merupakan ide pokok atau pikiran utama sebagai dasar atau pondasi untuk menulis drama.
Salah satu strategi yang penulis lakukan adalah dengan memutar beberapa tayangan film pendek sebagai stimulus agar muncul ide-ide yang menjadi dasar dalam menulis drama.
Film pendek yang dimaksud adalah film yang berdurasi pendek, simpel dan memiliki nuansa kompleks. Dari tayangan film pendek, dalam benak siswa terekam imajinasi untuk dijadikan ide menulis drama.
Dengan kata lain, tayangan menjadi scaffolding menuntun imajinasi, membangun, dan merumuskan unsur instrinsik dalam teks drama.
Adapun langkah praktis yang dilakukan dalam pembelajarannya dimulai dengan siswa menyimak beberapa tayangan film pendek. Selanjutnya secara berkelompok siswa memilih salah satu tayangan film pendek tersebut sebagai dasar untuk menentukan topik drama yang akan ditulis.
Langkah kedua, siswa menentukan tokoh-tokoh yang terlibat di dalamnya serta karakternya berdasarkan stimulus dari tayangan film pendek yang diputar.
Langkah ketiga siswa membuat kerangka alur yang menarik dan tidak mudah ditebak. Langkah terakhir siswa mengembangkan kerangka ke dalam dialog dengan memerhatikan struktur dan kebahasaan dengan tepat.
Pengalaman penulis membuktikan bahwa pembelajaran menulis drama dengan stimulus tayangan film pendek mampu membantu siswa dalam menulis teks drama. Siswa lebih mudah menentukan topik, alur, tokoh beserta karakternya, serta membuat dialog-dialog yang sesuai.
Tayangan film pendek juga juga membantu siswa menyajikan teks drama yang apik dan menarik. Dengan stimulus tayangan film pendek tersebut kebuntuan siswa untuk mendapatkan ide dan mengolahnya menjadi sebuah teks drama dapat teratasi. (uj/lis)
Guru Bahasa Indonesia SMPN 1 Srumbung, Kabupaten Magelang