34 C
Semarang
Saturday, 21 June 2025

Kisah Rara Mendut dan Pemikiran Konservatif terhadap Perempuan Generasi Z

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, “Kamu harusnya bersyukur menjadi perempuan di zaman sekarang. Dulu zamannya ibu, perempuan selepas sekolah langsung menikah, dijodohkan, pekerjaannya ya di sumur, dapur, kasur.

Zamanmu sekarang itu enak. Perempuan dipandang normal nggak harus bisa masak, sekolah tinggi, atau nggak nikah, atau pilih-pilih calon suami. Aneh!”

Perkataan seperti narasi di atas pasti pernah didengar di mana-mana. Parahnya oleh kaum perempuan sendiri yang mengharapkan perempuan muda lainnya untuk “menyerah”. Penulis tidak merasa bahwa perkataan seperti ini salah.

Mereka keluar dari mulut orang-orang yang tidak mengenyam pendidikan yang sejatinya dan tidak mengerti arti dari kesetaraan hak gender yang diserukan Kartini.

Penulis jadi teringat salah satu novel tentang seorang perempuan muda yang juga melawan takdir yang dipaksakan untuknya sampai mati. Uniknya, perempuan tersebut bukanlah anak generasi Z atau milenial, atau boomer. Perempuan tersebut dikisahkan ada di zaman Kesultanan Mataram.

Namanya Rara Mendut. Rara Mendut merupakan gadis yang amat gagah berani. Romo Mangun mendeskripsikannya dengan beragam kata, misalnya: urakan, nakal, liar, dan mirip harimau.

Romo Mangun menceritakan versinya mengenai Rara Mendut yang berasal dari pesisir pantai utara, tepatnya daerah Pati di bawah pimpinan Adipati Pragola yang waktu itu membangkang pada Sri Susuhunan Hanyakrakusuma.

Mendut dirampas dengan seenaknya dari Desa Telukcikal sekaligus pantai yang dicintainya untuk memenuhi hasrat Adipati Pragola. Namun saat Pragola kalah dari Patih Wiraguna, Mendut dan dayangnya pun diboyong lagi menjadi harta rampasan untuk Mataram.

Mendut melihat segala peristiwa itu dengan hati yang merana tetapi terjaga dingin. Akhirnya sadarlah ia, bahwa tidak berbedalah sebetulnya Pati atau Mataram. Sama-sama kurungan merpati. (Mangunwijaya, 2008:26).

Wiraguna merasa berhak untuk menerima banyak hal, salah satunya selir-selir yang ayu. Namun cintanya sudah terpahat pada Rara Mendut yang liar dan galak. Wiraguna sudah lelah dengan putri-putri yang cantik dan kinyis-kinyis.

Ia ingin merasakan peperangan asmara di medan laga dengan seorang lawan yang juga gagah menantangnya seperti Mendut. Namun, penolakan Mendut terhadap Wiraguna nantinya berbuntut panjang.

Ia diharuskan membayar pajak yang berkali-kali lipat banyaknya dari rakyat biasa, sehingga ia harus mencari cara untuk memperoleh banyak uang. Dibantu oleh dua dayangnya, Mendut membuka warung rokok di pasar dengan syarat (dari Wiraguna) tidak diperbolehkan terlihat oleh pembeli.

Menyiasati hal itu, Mendut menggunakan kain pembatas yang nantinya menampilkan siluetnya menari-nari dan mengisap puntung-puntung rokok untuk dijual kembali. Karena laris manis, Wiraguna pun makin kelabakan.

Di satu sisi, Mendut bertemu kembali dengan Pranacitra, sosok putra saudagar kaya di laut yang bernama Nyai Singabarong. Pranacitra menolak mengikuti jejak ibunya untuk melanjutkan bisnis dan dengan berani ia menuju Mataram sampai bertemu kembali dengan sang pujaan hatinya, Rara Mendut. Perjuangan cinta mereka pun terdengar oleh Wiraguna.

Usaha pelarian mereka dibantu oleh para abdi yang setia pun harus terpojok di tepi muara. Pranacitra hendak mengorbankan dirinya untuk kekasih, tetapi keris Wiraguna terhalang oleh badan Mendut yang menembus sampai tubuh kekasihnya. Keduanya mati, terjun ke dalam laut, tempat di mana mereka sebelumnya lahir dan saling jatuh cinta.

Dari cerita Rara Mendut tersebut, penulis merasakan bahwa zaman sekarang, perempuan muda “mulai” menjelma menjadi Mendut dalam ceritanya masing-masing. Tidak semuanya, tentu saja hanya beberapa dari perempuan muda yang cerdas tersebut yang mampu benar-benar menyelami karakter Mendut.

Melawan takdir yang dipaksakan. Berusaha mencari kebahagiaan sendiri. Tidak buta dengan kemewahan, sederhana, pandai dan prenjak sang gadis, dan terutama tidak patuh terhadap apa saja yang dititahkan padanya dengan semena-mena.

Lalu, apakah masih relevan kita menyuruh murid perempuan untuk bersiap menikah selepas sekolah? Tidak. Apakah masih relevan kita menyuruh murid perempuan untuk bisa memasak demi suami mereka kelak? Tidak.

Murid perempuan hanya membutuhkan bimbingan, bukan paksaan dan doktrin kuno yang menjebak. Kesetaraan antara perempuan dan laki-laki harus diajarkan agar generasi kita tahu bahwa mendebat feminis dengan kalimat “perempuan toh tetap tidak bisa mengangkat galon” merupakan perkataan orang bodoh yang tidak perlu dijawab.

Perempuan muda generasi Z benar-benar kritis, berani berpikir out of the box, mulai mengkritisi keadaan sosial dan norma istiadat yang ternyata sangat patriarkis. Semua itu harus diberi wadah yang baik dari gurunya yang menerima semua buah pemikiran inovatif, tidak terjebak pada kotak kuno dan mengikuti pemikiran zaman. (*/aro)

Guru SMK Negeri 2 Bawang, Kabupaten Banjarnegara


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya