27 C
Semarang
Monday, 14 April 2025

Pembelajaran dengan Literasi Sains di Abad 21

Oleh: Kasmuin, S.Ag., S.Pd., M.Pd

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, ERA abad 21 menjadikan perkembangan dunia semakin cepat dan kompleks. Perubahan tersebut pada dasarnya ditujukan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat modern.

Abad 21 juga dapat dikatakan sebagai sebuah abad yang ditandai dengan terjadinya transformasi besar – besaran dari masyarakat agraris menuju masyarakat industri dan berlanjut ke masyarakat berpengetahuan (Soh, Arsyad & Osman, 2010).

Di Indonesia, kesadaran tentang pentingya keterampilan abad 21 dapat ditemukan dalam dokumen yang dikeluarkan oleh Badan Nasional Standar Pendidikan tahun 2010 yang menyatakan bahwa “Pendidikan Nasional abad XXI bertujuan untuk mewujudkan cita-cita bangsa, yaitu masyarakat bangsa Indonesia yang sejahtera dan bahagia, dengan kedudukan yang terhormat dan setara dengan bangsa lain dalam dunia global, melalui pembentukan masyarakat yang terdiri dari sumber daya manusia yang berkualitas, yaitu pribadi yang mandiri, berkemauan dan berkemampuan untuk mewujudkan cita – cita bangsanya.” Dalam Sidi (2003)

Perkembangan dunia abad 21 ditandai dengan kemajuan dan tuntutan zaman. Abad 21, sumber daya manusia mulai digantikan dengan teknologi sehingga keterampilan yang dimiliki manusia sekarang sudah tidak bisa lagi mengikuti standar zaman dahulu.

Pada era globalisasi saat ini, semua dapat menjadi lebih mudah dan praktis. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya penerapan teknologi canggih berupa aplikasi yang menyediakan kebutuhan untuk mempermudah kelangsungan hidup manusia.

Terdapat tujuh jenis keterampilan hidup yang dibutuhkan di abad 21. Wagner (2010) menyatakan tujuh keterampilan yang dibutuhkan di abad 21 yaitu kemampuan berpikir kritis dan pemecahan masalah, kolaborasi dan kepemimpinan, ketangkasan dan kemampuan beradaptasi, inisiatif dan berjiwa entrepeneur, mampu berkomunikasi efektif baik secara oral maupun tertulis, mampu mengakses dan menganalisis informasi, dan memiliki rasa ingin tahu dan imajinasi.

Literasi sains (Science literacy) berasal dari kata latin yaitu literatus yang artinya huruf, melek huruf atau berpendidikan dan scientia yang artinya memiliki pengetahuan. Secara harfiah literasi berasal dari kata literacy yang berarti melek huruf atau gerakan pemberantasan buta huruf (Echols & Shadily, 1990).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi rendahnya literasi sains siswa. Menurut Angraini (2014) dan Putra (2016) penyebab rendahnya literasi sains yaitu adanya kecenderungan bahwa proses pembelajaran yang tidak mendukung siswa dalam mengembangkan kemampuan literasi sains.

Disamping itu, proses penilaian yang biasa dilakukan di sekolah juga menjadi penyebab rendahnya posisi Indonesia dalam studi PISA.

Menurut Putra (2016), siswa belum terbiasa mengerjakan soal menggunakan wacana. Menurut siswa, tes literasi lebih sulit dibandingkan dengan soal ujian yang biasa diberikan guru.

Hasil literasi sains yang dipublikasikan PISA mengungkapkan gambaran literasi siswa secara menyeluruh untuk rata – rata siswa indonesia. Artinya hasil literasi sains dapat berbeda apabila dilakukan tes pada ruang lingkup yang lebih kecil.

Melihat dari hasil pencapaian literasi sains siswa dalam PISA (program for international student assessment), indonesia termasuk dalam tingkatan rendah yaitu posisi 10 terbawah ketika literasi sains menjadi faktor yang sangat penting dalam penentuan kualitas pendidikan di suatu negara (ofcd, 2014). Tingkat pencapaian literasi sains di indonesia yang rendah tersebut menjadi salah satu landasan empiris terciptanya kurikulum 2013.

Dalam kurikulum 2013 terlihat jelas literasi sains melalui pembelajaran inkuiri ilmiah. Pada pembelajaran inkuiri ilmiah melibatkan proses dan sikap sains sehingga siswa mampu mengkonstruk ilmu pengetahuannya sendiri.

Pendekatan yang digunakan dalam kurikulum 2013 adalah pendekatan ilmiah (scientufuc approach) yang terdiri dari lima kegiatan (5m), yaitu mengobservasi, menanya, mengeksperimenkan, mengasosiasi, dan mengkomunikasikan.

Berdasarkan beberapa literatur, menyebutkan bahwa pendekatan ilmiah sama dengan pendekatan inkuiri, sehingga kurikulum 2013 sudah mengakomodasikan pengembangan literasi sains bagi siswa. Namun belum banyak sekolah yang menerapkan soal evaluasi yang mengkaitkan dengan fenomena seharihari dan masih dalam dimensi pengetahuan dan konseptual, sehingga belum dapat digunakan untuk mengukur literasi sains siswa.

Pengukuran tingkat literasi sains siswa sangat penting untuk mengetahui sejauh mana kemelekan siswa terhadap konsep sains yang sudah dipelajarinya. Oleh karena itu diperlukan instrumen literasi sains untuk siswa.

Instrumen evaluasi literasi sains sudah ada dan dapat diadopsi dari PISA, namun hasil literasi sains siswa indonesia dalam studi internasional berlaku secara umum. Sangat diperlukan instrumen literasi sains untuk siswa jenis tes dalam ruang lingkup kecil. (md2/zal)

Kepala MTs Negeri 2 Demak


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya