RADARSEMARANG.COM, Pembelajaran yang mudah dan menyenangkan sangat didambakan oleh para siswa. Lebih lagi jika dihadapkan pada materi pelajaran yang membosankan dan hafalan yang telah ditentukan.
Dalam pelajaran bahasa Jawa materi tembang macapat termasuk materi yang kurang diminati oleh siswa, yang notabene adalah generasi milenial.
Sebagian besar mereka masih menganggap bahwa pembelajaran tembang macapat adalah materi kuno dan ketinggalan zaman. Di sisi lain tembang macapat harus tetap dilestarikan sebagai kekayaan budaya bangsa.
Kondisi tersebut perlu menjadi perhatian oleh para guru dengan melakukan metode belajar yang kreatif dan inovatif.
Menurut Amri (2013:113) metode belajar mengajar adalah cara-cara yang dilakukan untuk menyampaikan atau menanamkan pengetahuan kepada subjek didik, atau anak melalui sebuah kegiatan belajar mengajar.
Tembang macapat adalah sebuah karya sastra berupa tembang yang berkembang di tanah jawa yang membunyai beberapa peraturan. Peraturan-peraturan dalam tembang macapat itu ada tiga, yaitu guru gatra, guru wilangan dan guru lagu (Padmosoekotjo,1953:13).
Guru gatra yaitu jumlah baris tiap bait, guru wilangan adalah jumlah suku kata tiap barisnya dan guru lagu merupakan vokal terakhir pada masing-masing baris. Ketiga aturan tersebut penulis singkat menjadi gawila yaitu gatra, wilangan, lagu.
Sebagian besar siswa SMP Negeri 2 Kandangan awalnya merasa sulit dalam menghafal nama 11 tembang macapat sekaligus jumlah gatra, wilangan, dan lagunya. Untuk itu guru memerlukan metode yang tepat dan mudah.
Metode tersebut adalah ezzel bruggece atau yang biasa dikenal dengan jembatan keledai yaitu metode yang dapat meningkatkan daya ingat siswa terhadap materi pembelajaran karena siswa mudah dalam menghafal (Wycoff dalam Bahtiar, 2015:10).
Jembatan keledai sering berupa kata atau suku kata yang ditambahkan pada susunan kata yang ingin dihafal agar terbentuk kalimat dengan arti yang menarik atau masuk di akal (Syarif, dkk, 2017:3).
Dalam menghafal 11 nama tembang macapat, siswa terlebih dahulu mengurutkan nama tembang berdasarkan jumlah gatra atau baris dari yang paling sedikit yaitu 4 hingga yang terbanyak 10. Hasilnya adalah 4 baris; pocung dan maskumambang, 5 baris; megatruh dan gambuh, 6 baris; kinanthi dan mijil, 7 baris; asmarandana, durma, dan pangkur, 9 baris; sinom, dan 10 baris; dhandhanggula.
Dari urutan tersebut kemudian diringkas dengan mengambil suku kata depan menjadi “maspo-mega-kimi-asdupa-sidha”. Hasil singkatan tersebut terbukti mempermudah siswa dalam menghafal 11 nama tembang macapat beserta jumlah barisnya.
Metode jembatan keledai juga dapat digunakan dalam menghafal guru wilangan dan guru lagu tembang macapat. Siswa terlebih dahulu memahami guru wilangan yang ada hanya berjumlah 5 hingga 12. Menghafal deretan angka memang lebih sulit dibandingkan dengan menghafal susunan huruf. Sehingga caranya adalah dengan mengubah angka guru wilangan menjadi huruf yang menyerupai, misalnya 5=S, 6=G, 7=J, 8=B, 9=Y, 10=W, 11=N, 12=R.
Dari pengggantian kode tersebut kemudian dirangkai dengan guru lagunya. Contohnya tembang kinanthi terdapat guru wilangan dan guru lagu; 8u,8i,8a,8i,8a,8i maka dapat dibaca BuBi-BaBi-BaBi. Contoh lain, tembang sinom; 8a,8i,8a,8i,7i,8u,7a,8i,12a dibaca BaBi-BaBi-JiBu-JaBiRa. Tembang pocung; 12u, 6a, 8i, 12a dibaca RuGa-BiRa. Begitu seterusnya pada tembang macapat yang lain.
Penerapan metode jembatan keledai dengan konsep menyingkat satu kalimat atau konsep-konsep panjang menjadi satu kata kunci dinilai cukup efektif untuk menambah ingatan. Melalui metode tersebut para siswa SMP Negeri 2 Kandangan merasakan mudah dalam menghafal nama dan gawila tembang macapat terbukti dari hasil ulangan yang meningkat dibandingkan tanpa metode tersebut. (uj1/lis)
Guru Bahasa Jawa SMPN 2 Kandangan, Kabupaten Temanggung