RADARSEMARANG.COM, Sesuai standar proses (Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016) bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif. Serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta didik.
Untuk itu setiap satuan pendidikan harus melakukan perencanaan pembelajaran, pelaksanaan proses pembelajaran serta penilaian proses pembelajaran untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas ketercapaian kompetensi lulusan.
Salah satu butir yang diatur dalam standar proses tersebut adalah bahwa proses pembelajaran di sekolah harus diselenggarakan dengan “menyenangkan” bagi siswa. Menyenangkan tentunya tidak mungkin terjadi hanya pada siswa.
Warga sekolah selengkapnya tentu harus juga senang. Ya guru yang mengajar, guru bimbingan konseling, staf tata usaha, kepala sekolah, satpamnya. Salah satu hal yang mendukung untuk menjadi senang di sekolah adalah tidak terjadinya kekerasan di lingkungan sekolah, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002. Bahwa anak di dalam dan di lingkungan sekolah wajib dilindungi dari tindakan kekerasan yang dilakukan oleh guru, pengelola sekolah atau teman-temanya di dalam sekolah yang bersangkutan, atau dari lembaga pendidikan lainnya.
Sekolah ramah anak yang selanjutnya disingkat SRA adalah satuan pendidikan formal, nonformal, dan informal yang aman, bersih dan sehat, peduli dan berbudaya lingkungan hidup. Mampu menjamin, memenuhi, menghargai hak-hak anak dan perlindungan anak dari kekerasan, diskriminasi, dan perlakuan salah lainnya serta mendukung partisipasi anak terutama dalam perencanaan, kebijakan, pembelajaran, pengawasan, dan mekanisme pengaduan terkait pemenuhan hak dan perlindungan anak di pendidikan (Peraturan Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2014 Tentang Kebijakan Sekolah Ramah Anak).
Yang dimaksud “anak” menurut Undang-Undang Tentang Perlindungan Anak Tahun 2002 adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dengan demikian siswa PAUD yang rata-rata usianya mulai dari 3 tahun sampai siswa SMA yang rata-rata berusia antara 16 sampai 18 tahun masuk ke dalam ranah kebijakan sekolah yang harus melaksanakan sekolah ramah anak.
Proses pembelajaran yang menyenangkan siswa diawali dengan penyusunan silabus/ATP dan RPP/modul ajar yang sesuai kurikulum yang berlaku namun perlu adaptasi agar tidak memberatkan siswa dan tetap mendukung terselenggaranya proses pembelajaran yang menyenangkan.
Pengawasan secara informal harus dilakukan oleh kepala sekolah dengan metode observasi langsung terhadap lingkungan, warga sekolah dan wawancara terhadap warga sekolah.
Dukungan kepala sekolah terhadap guru dalam mewujudkan proses pembelajaran yang menyenangkan siswa dapat diupayakan melalui berbagai jalur. Yakni pertama, menyempurnakan perencanaan pembelajaran dalam silabus/ATP dan RPP/Bahan ajar. Kedua, melengkapi sarana dan prasarana yang diperlukan.
Ketiga, menyelenggarakan kegiatan proses pembelajaran (intrakurikuler-kokurikuler-ekstrakurikuler) dan layanan bimbingan konseling yang menyenangkan. Keempat, mewujudkan lingkungan yang bersih, indah, dan nyaman. Kelima, menciptakan komunikasi antarwarga sekolah yang efektif, santun, dan “humanis” atau “nguwongke uwong.” Keenam, mendampingi guru dalam melaksanakan pengembangan keprofesian berkelanjutan.
Di dalam lingkungan sekolah anak harus mendapatkan hak dan perlindungan. Ketika anak bersekolah, anak sudah mendapatkan haknya atas pendidikan yang sesuai prinsip Konvensi Hak Anak. Semua warga sekolah harus menyadari sekolah bukanlah lembaga yudikatif yang berfungsi memberikan hukuman untuk efek penjeraan kepada anak. Melainkan dikembalikan kepada fungsi sekolah sebagai lembaga pendidikan, pembinaan dan tempat beberapa jam sehari anak berada dalam pengasuhan guru sebagai pengganti orang tua.
Sehingga kata hukuman, atau sanksi tidak ada dalam kamus SRA. Tetapi diganti dengan konsekuensi yang harus dijalankan anak jika terjadi kelalaian dalam proses pendidikan selama berada di sekolah.
Konsekuensi itulah yang mencerminkan disiplin positif yang harus dijalankan tanpa mengurangi hak anak untuk mendapat pendidikan dan hak lainnya. Justru membantu anak untuk dapat lebih mandiri dan siap menghadapi tantangan. (*/lis)
Guru SMA Negeri 4 Magelang