RADARSEMARANG.COM, BERDASARKAN UU Sisdiknas 20 tahun 2003 tentang pendidikan khusus bagi Anak Berkebutuhan Khusus (ABK), ditegaskan bahwa pemerintah telah menjamin pendidikan bagi ABK untuk mendapatkan pendidikan layaknya anak normal lain tanpa dibeda–bedakan atau didiskriminasi, karena ABK dapat hidup mandiri jika dididik sesuai dengan kebutuhannya.
Berdasarkan aturan perundang-undangan tersebut, maka anak yang menyandang autisme atau anak dengan kebutuhan khusus berhak mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak sesuai kemampuan dan potensi yang ada dalam dirinya.
Kondisi ABK yang dimaksud di sekolah formal adalah anak autis. Autisme adalah suatu gangguan perkembangan yang kompleks menyangkut komunikasi, interaksi sosial, gangguan sensoris, pola bermain, perilaku, emosi, dan aktivitas imajinasi, namun masih kategori anak yang bisa mengikuti.
Namun secara pemahaman dalam menerima materi lebih lama dari pada anak normal pada umumnya. Begitu juga untuk tingkat pencapaiannya, guru harus menggunakan assesmen berdiferensiasi.
Ketercapaian materi sesuai kemampuan siswa harus dicermati guru dengan metode pendekatan agar siswa autis dapat mengikuti pembelajaran PJOK dengan baik. Khusus anak Autis, guru harus benar–benar memahami kondisi kesiapan belajar dan mood siswa sebelum pembelajaran dimulai.
Sosialisasi dikembangkan sesuai tahapan, keterampilan ditingkatkan melalui rutinitas yang dilakukan, dan komunikasi dibangun agar selalu dapat diterima di lingkungan sekolah.
Dengan metode ini, siswa diberikan kesempatan untuk mencoba menyelesaikan tugas yang diberikan oleh guru, siswa mencoba sesuai pemahaman masing–masing dan mempraktikkan sesuai kemampuannya.
Tugas guru mengarahkan dan memberikan motivasi agar siswa dapat mencoba. Hal ini penting dilakukan guna mengetahui pencapaian masing–masing siswa dalam menguasai materi pembelajaran.
Pembelajaran di dalam kelas tidak hanya fokus pada pencapaian siswa pada pembelajaran saja, namun sosialisasi dan interaksi antarteman guna menciptakan kepedulian terhadap teman perlu dikembangkan.
Untuk itu, guru mengembangkan metode pembelajaran kooperatif pada kelas dengan kondisi kelas yang terdapat anak normal dan autis, agar sosialisasi anak autis dapat berkembang. Kepedulian siswa normal dapat tumbuh untuk belajar menerima tanpa membeda–bedakan teman dengan kondisi tertentu.
Menurut Psikolog Tri Gunadi (Yayasan Medical Exercise Therapy) ada beberapa syarat jika orangtua dari anak autis ingin menyekolahkan anaknya di sekolah umum, di antaranya, pertama, mampu melakukan komunikasi klasikal (verbal atau non verbal).
Kedua, hilangnya gangguan perilaku, seperti temper tantrum (marah, mengamuk, berteriak-teriak, dan lainnya). Ketiga, tidak ada lagi gangguan emosi. Keempat, tidak mendistraksi atau terdistraksi anak yang lain. Kelima, memiliki kemampuan akademis.
Berbagai gangguan yang dialami oleh anak autis secara potensial memiliki risiko tinggi terhadap munculnya hambatan dalam berbagai aspek perkembangan, baik fisik, psikologis, sosial, bahkan totalitas perkembangan kepribadiannya.
Kondisi ini menimbulkan permasalahan yang akan mengakibatkan anak mengalami hambatan atau gangguan dalam belajar. Secara umum, Hadis (2006) mengungkapkan beberapa gangguan yang dialami oleh siswa autis terkait dengan kegiatan belajar seperti perilaku, kemampuan komunikasi, dan interaksi.
Anak autis membutuhkan layanan pendidikan yang sesuai dengan minat, kebutuhan, dan kemampuannya. Guna mencapai keberhasilan dalam pelaksanaan layanan pendidikan tersebut, keterlibatan guru yang memiliki kemampuan dalam menangani siswa autis dan sebagai pihak yang paling berperan dalam menyampaikan informasi dan pengetahuan secara tepat, sangat dibutuhkan. (kj3/ida)
Guru PJOK SDN Tanjungsari Kajen, Kabupaten Pekalongan