28 C
Semarang
Wednesday, 16 April 2025

Budaya Positif untuk Meningkatkan Proses Belajar Mengajar yang Bermakna

Oleh : Fatkhurohman, S.Pd

Artikel Lain

RADARSEMARANG.COM, Untuk membangun budaya yang positif, sekolah perlu menyediakan lingkungan yang positif, aman, dan nyaman. Agar murid-murid mampu berpikir, bertindak, dan mencipta dengan merdeka, mandiri, dan bertanggung jawab. Salah satu strategi yang perlu ditinjau ulang adalah bentuk disiplin yang dijalankan di sekolah.

Pendidik tidak dapat memaksa murid berbuat sesuatu jika murid memilih untuk tidak melakukan apa yang dikehendaki dari pendidik, walaupun pendidik sedang mengontrol perilaku murid tersebut. Karena murid sedang mengizinkan dirinya dikontrol.

Bentuk kontrol pendidik menjadi kebutuhan dasar yang dipilih murid tersebut. Teori kontrol menyatakan semua perilaku memiliki tujuan. Bahkan terhadap perilaku yang tidak disukai. Hal itulah yang diterapkan di SMK Negeri 1 Salam Magelang pada Program Agribisnis Pengolahan Hasil Pertanian dalam mewujudkan budaya positif pada proses belajar mengajar.

Kebanyakan orang akan menghubungkan kata disiplin dengan tata tertib, teratur, dan kepatuhan pada peraturan. Dalam budaya kita disiplin dimaknai menjadi sesuatu yang dilakukan seseorang pada orang lain untuk mendapatkan kepatuhan. Ki Hajar Dewantara menyatakan di mana ada kemerdekaan, di situlah harus ada disiplin yang kuat. Untuk mencapai kemerdekaan atau dalam konteks pendidikan syarat utamanya adalah harus ada disiplin yang kuat.

Yakni disiplin diri, yang memiliki motivasi internal. Jika tidak memiliki motivasi internal, kita memerlukan pihak lain untuk mendisiplinkan kita atau motivasi eksternal.
Adapun definisi “merdeka” menurut Ki Hajar adalah mardika iku jarwanya, nora mung lepasing pangreh, nging uga kuwat kuwasa amandiri priyangga (merdeka itu artinya tidak hanya terlepas dari perintah tetapi juga cakap buat memerintah diri sendiri).

Pemikiran Ki Hajar ini sejalan dengan pandangan Diane Gossen (2001). Diane menyatakan untuk menjadi seorang murid, atau pengikut, seseorang harus paham alasan mengapa mereka mengikuti suatu aliran atau ajaran tertentu. Sehingga motivasi yang terbangun adalah motivasi intrinsik, bukan ekstrinsik. Dengan kata lain, disiplin diri juga mempelajari bagaimana cara kita mengontrol diri. Dan bagaimana menguasai diri untuk memilih tindakan yang mengacu pada nilai-nilai yang kita hargai.

Menurut Gossen (1998), suatu keyakinan akan lebih memotivasi seseorang dari dalam, atau memotivasi secara intrinsik. Seseorang akan lebih tergerak dan bersemangat untuk menjalankan keyakinannya, daripada sekadar mengikuti serangkaian peraturan. Murid-murid pun demikian. Mereka perlu mendengarkan dan mendalami suatu keyakinan, daripada hanya mendengarkan peraturan-peraturan yang mengatur mereka harus berlaku begini atau begitu.

Pembentukan keyakinan kelas dapat digunakan untuk mengatasi solusi kedisiplinan yaitu dapat dilakukan dengan membuat pernyataan-pernyataan universal dalam bentuk positif, dibuat tidak terlalu banyak. Sehingga mudah diingat dan dipahami oleh semua warga kelas dan dapat diterapkan di lingkungan tersebut.

Diane Gossen dalam bukunya Restitution-Restructuring School Discipline (1998) mengemukakan guru perlu meninjau kembali penerapan disiplin di dalam ruang-ruang kelas dengan lima posisi kontrol yaitu penghukum, pembuat orang merasa bersalah, teman, monitor (pemantau) dan manajer.

Penghukum yang menggunakan hukuman fisik maupun verbal dapat membuat murid tertekan lebih mendalam dan menimbulkan sikap negatif pada murid. Sedangkan posisi manajer dimana murid dapat menjadi pribadi yang mandiri, merdeka, dan bertanggung jawab atas segala perilaku dan sikapnya, yang akhirnya dapat menciptakan lingkungan yang positif, nyaman, dan aman.

Untuk menciptakan murid memperbaiki kesalahan sehingga bisa kembali pada kedisiplinan dengan karakter yang lebih baik diperlukan restitusi (Gossen, 2004). Restitusi adalah proses kolaboratif yang mengajarkan murid untuk mencari solusi untuk masalah, dan membantu murid berpikir tentang orang seperti apa yang mereka inginkan, dan bagaimana mereka harus memperlakukan orang lain (Chelsom Gossen, 1996).

Restitusi membantu murid memiliki tujuan, disiplin positif, dan memulihkan dirinya setelah berbuat salah. Penekanannya adalah menjadi orang yang menghargai nilai-nilai kebajikan yang mereka percayai. Melalui restitusi, ketika murid berbuat salah, guru akan menanggapi dengan cara yang memungkinkan murid untuk membuat evaluasi internal memperbaiki kesalahan. Dan mendapatkan kembali harga dirinya. Sehingga dengan penerapan tersebut proses belajar mengajar akan semakin bermakna. (mj/lis)

Guru SMK Negeri 1 Salam, Kabupaten Magelang


Artikel Terkait

Sementara Itu ..

Terbaru

Populer

Menarik

Lainnya