RADARSEMARANG.COM, ANAK usia sembilan tahun berada di jenjang sekolah dasar kelas dua. Mereka mengalami perkembangan yang sangat berarti bagi ketrampilan hidup yang akan mereka miliki untuk mengatasi masalah hidup sehari-hari bagi dunia mereka nantinya. Pada tahap perkembengan kognisi anak pasti akan mengalami perkembangan kognisi berupa skema, asimilasi, akomodasi, organisasi, dan equilibrasi (John W. Santrock: Psikologi Pendidikan (Terjemahan): 2008). Dalam perjalanannya, anak akan mengalami kesulitan yang sebenarnya anak mampu untuk melaluinya tetapi tidak setiap anak melaluinya dengan cara yang tepat.
Lingkungan dan teman yang ada di sekitar mereka akan sangat mempengaruhi ketrampilan anak. Ketidaktepatan cara untuk mengatasi setiap permasalahan anak akan menyebabkan anak emosi, marah-marah, atau diam tidak merespon dengan apa yang disampiakan oleh lingkungan di sekitarnya. Mereka merasa bahwa apa yang mereka butuhkan tidak dapat terpenuhi sesuai keinginan mereka.
Sikap tidak merespon inilah yang menyebabkan anak tidak bisa bekerja sama atau tidak menjalankan apa yang diperintah oleh lingkungan sekitar seperti perintah untuk belajar. Sikap tidak mau melaksanakan perintah belajar ini jika dibiarkan akan menyebabkan anak memiliki kebiasaan yang semakin lama akan menjadikan anak memiliki sifat malas belajar.
Artinya, bukan lagi sekali dua kali tetapi setiap kali diajak untuk belajar maka mereka tidak akan merespon ajakan tersebut. Perkembangan kognisi anak mungkin akan mengalami kesulitan Pembelajaran yang berisi tentang cerita atau kisah beberapa Nabi yang ditekankan pada sifat yang dimiliki oleh salah satu Nabi yang dapat diteladani oleh anak jika salah teknik penyampaian.
Penyampaian kisah seharusnya menarik dan tentu saja membutuhkan kompetensi seni bercerita. Kompetensi ini tentu saja tidak dimiliki oleh semua guru Agama Islam dan inilah yang menyebabkan materi Kisah keteladanan ini tidak dapat tersampaikan dengan baik. Hal ini menyebabkan anak tidak tertarik pada materi tersebut dan menyebabkan anak malas atau bahkan salah dalam tahap pembentukan skema yang dampaknya akan berakibat pada tahap perkembangan kognisi anak yang tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Guru memiliki kewajiban untuk dapat menyelesaikan setiap permasalahan dalam pembelajaran. Guru Pendidikan Agama Islam dituntut untuk memiliki metode bercerita pada penyampaian materi keteladanan Para Nabi. Metode bercerita bertujuan untuk menghibur, melatih anak berkomunikasi dengan baik, memahami pesan dari cerita dan mampu mengungkapkan ide cerita dan menambah wawasan dan pengetahuan bahasa secara luas (Mudini & Purba: 2009).
Metode bercerita yang dilakukan dapat menggunakan peraga dan tidak menggunakan alat peraga. Metode bercerita yang tidak menggunakan alat peraga lebih mengandalkan pada potensi mimik (ekspresi wajah), pantomime (gerak tubuh), dan vokal (olah suara) pencerita. Jika guru tidak menguasai 3 kompetensi tersebut, dapat melaksanakan metode bercerita dengan menggunakan alat peraga untuk membantu penyampaian pesan cerita dan membuat cerita menarik. Kedua teknik bercerita tersebut dapat membantu anak berfantasi dan berimajinasi anak seolah-olah anak merasakan atau berada pada cerita yang disampaikan. Anak akan berasimilasi dengan isi cerita yang disampaikan. Tahapan asimilasi ini dapat merangsang anak untuk dapat meneladani sifat tokoh yang disampaikan dalam cerita.
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam materi Kisah Keteladanan akan dapat menjadi menarik jika disampaikan dengan metode bercerita yang tepat. Pilihan metode bercerita dapat disesuaikan dengan kompetensi yang dimiliki oleh guru Agama Islam. Dengan demikian, anak akan dapat tertarik dengan materi yang disampaikan dan menyebabkan kompetensi dasar dari materi yang disampaikan dapat tercapai sesuai target yang ditetapkan. Seperti yang diterapkan di SDN Sidorejo Kidul 02, Salatiga. (bat1/zal)
Guru SDN Sidorejo Kidul 02, Salatiga