RADARSEMARANG.COM, MEREBAKNYA pandemi Covid-19 di tengah kemajuan arus teknologi yang begitu pesat menimbulkan kekhawatiran akan berpengaruh terhadap spirit kebangsaan. Berbagai kejadian dan pemberitaan tentang keadaan negara kita, dewasa ini memprihatinkan. Misalnya berita sparatis, kelompok kriminal bersenjata, dan desintegrasi masih terdengar. Adanya perbedaan pendapat antarkelompok serta antargolongan banyak yang berakhir dengan pertikaian. Semangat menjunjung tinggi persatuan bangsa terkikis oleh kepentingan pribadi atau golongan. Apabila hal ini dibiarkan, tentunya membahayakan negara. Oleh karena itu, tindakan secara persuasif sangat urgen untuk dilaksanakan.
Siswa yang pada umumnya merupakan para remaja atau generasi muda penerus bangsa tidak boleh dikesampingkan. Penanaman semangat kebangsaan secara dini di berbagai jenjang dan jenis pendidikan perlu digalakkan. Sikap nasionalisme harus ditanamkan dengan baik kepada mereka sedini mungkin agar mengakar kuat.
Menurut Benedict Anderson (2012) secara etimologis nasionalisme berasal dari bahasa Latin yaitu natio yang berarti bangsa yang dipersatukan karena kelahiran, dan dari kata nasci yang berarti dilahirkan. Secara objektif, nasionalisme mengandung beberapa unsur bahasa, etnik, ras, agama, peradaban, wilayah, negara, dan kewarganegaraan. Dalam perspektif sosiologi nasionalisme sebagai semangat kebangsaan yang dilandasi oeh rasa sebangsa, setanah air, serta senasib dan seperjuangan.
Perwujudan nyata menanamkan semangat kebangsaan menurut Susanto dan Hika (2010) ada beberapa yaitu, 1) menggalakkan kembali materi pelajaran wawasan kebangsaan dan kewargangaraan dalam sistem pendidikan Indonesia. 2) Memanfaatkan momen-momen kompetisi antarbangsa dengan terus mendukung prestasi bangsa Indonesia di dunia internasional. 3) Menggalakkan kembali slogan cinta produksi Indonesia/produk dalam negeri. 4) Mendukung pemasyarakatan budaya Indonesia untuk membendung budaya asing. Dan 5) memiliki kesadaran untuk memproteksi arus globalisasi informasi dan teknologi.
Menurut Abdul Sukur (2008) jika dilihat dari sisi usia, pemuda merupakan penduduk yang berusia 15-35 tahun. Siswa SMK pada umumnya termasuk pemuda, karena usianya berkisar 15-20 tahun. Mereka diidealkan sebagai sosok yang penuh energi, semangat, dan kreatif untuk menciptakan suatu pembaharuan. Pada usia ini, remaja sebagai pemuda tahap awal yang beranjak dari masa anak-anak menuju ke masa dewasa, sedang berada pada masa transisi yang rawan, hal ini dikarenakan pengaruh teman sebaya sangat dominan.
Padahal, dalam kapasitas ini, siswa atau pemuda diharapkan mampu menciptakan suatu pembaharuan yang nantinya dijadikan tumpuan serta harapan bangsa. Oleh karena itu, mereka dituntut untuk terus berperan aktif dalam upaya pengembangan-pengembangan diri dan bangsa secara lebih luas. Para siswa harus mampu berpikir kritis dan berani mengambil keputusan. Mereka berpikir dan bergerak sesuai hati nuraninya, bukan atas dasar kepentingan pragmatis. Para siswa harus membekali diri dengan sikap kebangsaan dan keagamaan yang matang.
Dalam usaha memupuk semangat nasionalisme, penulis sebagai pendidik di SMK Negeri 1 Kutasari mencoba mengajak para siswa untuk melaksanakan hal-hal melalui kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler. Dalam keseharian mereka ditanamkan rasa nasionalisme secara langsung maupun tidak langsung. Penguatan nasionalisme dilakukan dengan menanamkan budaya saling menghormati, menolong sesama, memelihara keamanan dan ketertiban di lingkungan masing-masing. Hal ini sebagai langkah awal untuk membina kerukunan hidup bernegara.
Dengan hal tersebut, secara langsung maupun tidak langsung menciptakan kerukunan hidup yang harmonis yang pada gilirannya akan memelihara persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dengan dilandasi sikap nasionalisme yang tangguh. (pb2/ida)
Guru PPKn SMK Negeri 1 Kutasari, Purbalingga